Jakarta – Langkah pemerintah Indonesia untuk membuka kembali keran ekspor pasir laut telah menuai kritik, terutama dari pengamat maritim. Marcellus Hakeng Jayawibawa, seorang pengamat dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), menilai bahwa penambangan pasir laut dapat mengancam ekosistem dasar laut, yang merupakan tempat penting bagi kehidupan ikan. Meskipun kebijakan ini berpotensi meningkatkan nilai ekonomi dan mendorong kinerja ekspor, dampak negatifnya terhadap sektor perikanan dan lingkungan patut dicermati.
Menurut Marcellus, dasar laut adalah lingkungan vital bagi ikan untuk berkembang biak dan mencari makan. Oleh karena itu, gangguan pada ekosistem dasar laut akibat penambangan pasir dapat mengurangi produktivitas perikanan dan berdampak negatif pada pendapatan nelayan. “Jika ekosistem ini terganggu, produktivitas perikanan dapat menurun, dan hasil tangkapan nelayan bisa terdampak. Jadi, meskipun kebijakan ini mungkin menguntungkan secara ekonomi di sektor lain, ada potensi kerugian bagi sektor perikanan,” katanya dalam wawancara dengan kumparan pada Minggu (15/9).
Lebih lanjut, Marcellus mengingatkan bahwa dampak paling signifikan dari kebijakan ini adalah degradasi lingkungan laut. Penambangan pasir laut dapat menyebabkan berbagai masalah lingkungan, termasuk erosi pantai, kerusakan habitat laut, penurunan biodiversitas, dan pelepasan karbon yang terikat di ekosistem blue carbon seperti mangrove dan padang lamun. “Penambangan pasir laut dapat mengakibatkan perubahan arus laut dan sedimentasi yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem, baik di pantai maupun di laut lepas,” jelasnya.
Sementara itu, Marcellus juga mengakui bahwa pasir laut merupakan komoditas yang dicari oleh negara-negara yang membutuhkan bahan baku untuk proyek reklamasi dan konstruksi. Hal ini memberikan peluang ekonomi bagi Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya pemerintah untuk berhati-hati agar manfaat ekonomi ini tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan sumber daya laut yang lebih berkelanjutan. “Pemerintah harus memastikan bahwa manfaat ekonomi dari ekspor pasir laut tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan sumber daya laut yang berkelanjutan,” tuturnya.
Marcellus menyarankan perlunya kajian mendalam dan regulasi ketat agar kebijakan ini tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya. Dia juga mengingatkan pemerintah untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Menurut Pasal 9 ayat 2 poin d beleid tersebut, pemanfaatan pasir laut untuk ekspor harus dipastikan bahwa kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Diperlukan kajian lebih mendalam terkait PP 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut, terutama terkait aspek penegakan hukum bagi para pihak,” tutup Marcellus.
Presiden Jokowi telah resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun pelarangan. Kebijakan ini berlaku setelah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menerbitkan revisi dua aturan baru sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Revisi ini juga merupakan tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan melibatkan perubahan dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.
Dua aturan yang direvisi adalah Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. “Revisi dua Permendag ini merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta merupakan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai instansi pembina atas pengelolaan hasil sedimentasi di laut,” ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim dalam keterangan resmi yang dikutip pada Kamis (12/9).