Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pengalamannya terkait reformasi di Kementerian Keuangan, khususnya mengenai besaran tunjangan kinerja (tukin) yang menjadi perhatian utama. Dalam sebuah acara peluncuran buku biografi otorisasi, Sri Mulyani menceritakan pengalamannya ketika menjabat sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEBUI).
Pada masa itu, ia merasa heran melihat gaji peneliti yang jauh lebih tinggi dibandingkan gaji pegawai Direktorat Jenderal Pajak. “Gaji seorang peneliti jauh lebih tinggi dari gaji Ditjen Pajak. Jadi saya bilang, kayaknya Ditjen Pajak kerjaannya luar biasa berat,” ujarnya.
Perluasan Reformasi Gaji
Sri Mulyani menjelaskan bahwa perbedaan gaji yang mencolok ini memicu dorongan untuk melakukan reformasi. Ia kemudian menerima saran untuk menyiapkan beberapa skenario kenaikan gaji bagi pegawai di kementeriannya, dengan harapan dapat mengurangi korupsi dan menjaga keseimbangan. Beberapa opsi yang diusulkan mencakup kenaikan sebesar 30%, 40%, hingga 60%.
Namun, saat melihat potensi kenaikan tersebut, Sri Mulyani merasa bahwa nominalnya tidak cukup untuk mendorong kinerja pegawai. “Kalau cuma segini, saya tidak akan pernah bisa minta mereka banyak kerja,” ujarnya.
Alternatif: Meningkatkan Tunjangan Kinerja
Untuk mengatasi permasalahan ini, Sri Mulyani mempertimbangkan alternatif lain, yaitu meningkatkan tunjangan kinerja (tukin) alih-alih gaji pokok. Dia mengusulkan kenaikan yang lebih signifikan, yaitu antara 100%, 200%, hingga 300%. Akhirnya, ia memilih untuk menetapkan kenaikan sebesar 300%.
“Premisnya adalah kalau mereka kerja perutnya belum tenang, memikirkan anaknya sekolah tidak cukup, ya you cannot expect mereka bener,” tegasnya. Namun, dia juga menekankan bahwa perubahan ini hanya merupakan langkah awal dan perlu diiringi dengan perbaikan kinerja, pengawasan, dan performa.
Respons Negatif dan Kekhawatiran Anggaran
Keputusan untuk menaikkan tukin tersebut tidak lepas dari respon negatif masyarakat. Banyak yang khawatir bahwa ini akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, Sri Mulyani menjelaskan bahwa anggaran ini sebenarnya telah dipersiapkan setiap kementerian dalam bentuk honor rapat dan kunjungan.
“Dulu, untuk mendapatkan gaji yang layak, pegawai sering kali memanfaatkan perjalanan dinas atau rapat untuk memperoleh penghasilan tambahan,” tambahnya. Fenomena ini menciptakan budaya di mana birokrasi terpaksa berpura-pura melakukan perjalanan dinas demi mendapatkan imbalan.
Membangun Birokrasi yang Terhormat
Sri Mulyani menekankan pentingnya membangun birokrasi yang profesional dan terhormat. “Birokrat itu seharusnya decent and respectable. Kan kalau gajinya normal ya behaviornya normal,” ujarnya. Dia menggambarkan bahwa ketika gaji pegawai tidak sesuai dengan tanggung jawab yang diemban, hal itu dapat memicu perilaku yang tidak etis, seperti pura-pura menjalankan tugas hanya untuk mendapatkan uang.
Langkah Menuju Birokrasi yang Efektif
Sri Mulyani menambahkan bahwa reformasi yang dilakukan bukan sekadar meningkatkan tunjangan kinerja, tetapi juga membangun sistem remunerasi yang lebih baik. “Dulu itu yang disebut basic remuneration-nya aja memang belum dibuat. Makanya, Anda tidak bisa expect birokrasi itu bersifat normal,” jelasnya.
Dengan langkah-langkah reformasi yang lebih komprehensif, Sri Mulyani berharap dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif dan mendorong pegawai untuk lebih fokus pada tanggung jawab mereka. Ini adalah bagian dari upaya untuk menciptakan birokrasi yang lebih efektif, transparan, dan bertanggung jawab terhadap publik.
Dengan demikian, Sri Mulyani percaya bahwa reformasi ini akan membawa dampak positif bagi pengelolaan keuangan negara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.