Voxnes.com,
Oleh
Awalil Rizky, Ekonom dari Institut Bright
Realisasi Anggaran Pendanaan Berdasarkan Perubahan Undang-Undang (APBN) dari tanggal 2 sampai 28 Februari 2025 menunjukkan bahwa Pendapatan Negara mencapai Rp 316,9 triliun sementara Belanja Negara senilai Rp 348,1 triliun. Akibatnya, terjadi defisit sekitar Rp 31,2 triliun. Meskipun begitu, dana yang digunakan untuk membiayai kekurangan tersebut sangat besar yaitu mencapai Rp 220,1 triliun lebih tinggi daripada jumlah defisit.
Anggaran Pembiayaan mencakup semua pendapatan yang harus dikembalikan serta belanja yang nantinya dapat direcovered, entah itu dalam masa anggaran saat ini ataupun periode anggaran mendatang.
Penyerapan dana mencakup beberapa bentuk seperti mengambil hutang, mengatur pendapatan dari aset, menerima angsuran balik pinjaman yang telah disediakan, ataupun memulihkan kembali investasi. Sedangkan penggunaan dana meliputi kegiatan seperti mendanai proyek investasi, tanggung jawab dalam memberi jaminan, membayar angsulan modal hutang, maupun menyampaikan bantuan keuangan tambahan.
Penyertaan utang mengacu pada jumlah dana yang diambil melalui peminjaman baru dan pembayaran kembali modal pinjaman sebelumnya. Ini mencakup pendanaan untuk surat berharga negara (SBN) serta hutang langsung. Umumnya ditampilkan sebagai saldo bersih dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk dalam rincian Laporan APBN kita, terutama berkaitan dengan SBN.
Pencapaian pembiayaan melalui utang hingga tanggal 28 Februari 2025 telah mencapai angka Rp 224,3 triliun. Angka ini setara dengan 28,9% dari total RAPBN 2025 yang ditetapkan senilai Rp 775,9 triliun. Dibandingkan dengan periode serupa di tahun sebelumnya, terjadi kenaikan sebesar 21,59%, dimana pada tahun tersebut pencapaiannya adalah Rp 184,47 triliun.
Realisasi selama dua bulan pertama tahun 2025 telah melampaui angka dari beberapa tahun sebelumnya, serta mencapai persentase tertinggi dibandingkan target untuk tahun tersebut. Pembiayaan pinjaman hingga akhir Februari menunjukkan presentase seperti di bawah ini:
– Rp 184,47 triliun atau 28,5% (dibandingkan dengan target tahun 2024);
– Rp 186,89 triliun atau 26,8% (untuk target pada tahun 2023);
– Dan Rp 92,91 triliun atau 9,5% (terhadap sasarannya di tahun 2022).
Nilai penyerapan pinjaman sebanyak Rp 224,3 triliun sangat melampaui kekurangan anggaran yang hanya sekitar Rp 31,2 triliun. Ini menunjukkan bahwa dana hutang tersebut direncanakan untuk mendukung pengeluaran dalam satu atau dua bulan kedepan, mengingat perkiraan penerimaan masih kurang memadai.
Pembelanjaan berjumlah signifikan yang harus dijalankan pada bulan Maret meliputi pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Anggaran Tenaga Kerja Daerah (TKD) diperkirakan mencapai Rp 57,1 triliun guna memfasilitasi pelayanan umum lokal. Selain itu, ditambahkan juga pengeluaran untuk dukungan sosial serta beberapa agenda unggulan baru seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Secara keseluruhan, mayoritas dari biaya ini akan dibebankan ke aliran kas melalui proses pinjaman.
Utang yang jatuh tempo di bulan Maret dan April diperkirakan juga akan naik, hal ini akan diselesaikan melalui penerbitan kembali pinjaman. Walaupun pendanaan untuk membayar utang telah menjangkau 28,9% dari tujuan awalnya, namun mengambil hutang tambahan tetap perlu dilakukan akibat masalah aliran kas. Salah satu caranya adalah dengan “mengganti” surat berharga negara (SBN) maturing dengan obligasi negara baru.
revolving
agar terkesan keren.
Meskipun demikian, tingkat risiko pendanaan semakin naik dalam beberapa bulan ke depan. Karenanya, pernyataan resmi APBN We Maret 2025 tersebut secara spesifik menyinggung bahwa para investor asing tetap berminat untuk mengucurkan pinjaman, salah satunya melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
revolving
SBN.
Namun, analisis data untuk dua bulan terakhir malah mengungkapkan bahwa situasinya tidak sebaik yang dibayangkan. Laporan ini mencakup hingga 10 Maret 2025, bukannya 28 Februari seperti pada laporan-laporan sebelumnya. Alasannya adalah jika dihitung hingga 28 Februari, keadaannya akan tampak semakin memburuk.
Berikut penafsiran APBN Kita hingga tanggal 10 Maret 2025 dapat memiliki interpretasi lain dibandingkan dengan pendapat Kementerian Keuangan. Meskipun tampaknya menekankan bahwa investor asing telah membeli bersih senilai Rp 22,43 triliun pada Surat Berharga Negara dalam negeri sebagai indikator minat mereka, angka tersebut ternyata jauh di bawah jumlah pembelian oleh Bank Indonesia yaitu sekitar Rp 47,07 triliun. Selain itu, ada juga kontribusi dari perbankan sebanyak Rp 23,98 triliun, serta dana pensiun dan asuransi yang membukukan total pembelian sebesar Rp 28,40 triliun.
Satu hal yang patut dicermati dari rilis pers APBN Kita pada Maret 2025 adalah kurangnya data mengenai posisi hutang Pemerintah hingga tanggal 28 Februari 2025. Data tersebut baru disampaikan dalam rilis APBN Kita bulan Februari 2025 yang telah dirilis.
takedown
, yakni posisi per 31 Januari 2025 senilai Rp8.909,13 triliun. Bahkan, dalam rilis pers APBN Kita pada Januari 2025, informasi tentang posisi per 31 Desember 2024 tidak ditampilkan.
Berbekal data tentang peminjaman dana tersebut, kita dapat menebaknya sambil mengasumsikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk bulan Februari akan tetap sama saat akhirnya diunggah lagi. Informasi yang ditampilkan meliputi total pembiayaan utang sampai tanggal 31 Januari yaitu sekitar Rp 153,36 triliun serta jumlah hutang keseluruhan telah mencapai angka Rp 8.909,13 triliun.
Rincian dari APBN kita untuk bulan Maret menunjukkan bahwa jumlah pinjaman hingga tanggal 28 Februari adalah sebesar Rp 224,3 triliun dan ini sudah termasuk data pada Januari. Ada penambahan dana melalui peminjaman sebanyak Rp 70,94 triliun. Dengan demikian, total kenaikan hutang setidaknya mencapai angka tersebut jika dibandingkan dengan saldo per 31 Januari, sehingga menjadikan besarnya utang keseluruhan menjadi Rp8.980,07 triliun.
Perlu diwaspadai adanya penurunan nilai tukar rupiah antara 31 Januari dan 28 Februari lalu, yaitu dari angka Rp16.312 hingga menjadi Rp16.575, ini setara dengan depresiasi kira-kira 1,61%. Meskipun demikian, lebih kurang 29% dari total hutang negara direalisasikan dalam mata uang asing, dimana mayoritasnya yakni 90%-nya merupakan dollar AS. Jadi bila dibandingkan menggunakan satuan rupiah, jumlah tersebut akan menunjukkan pertambahan pada besaran total hutang.
Penulis menduga bahwa estimasi tersebut mengarah ke situasi di mana Utang Pemerintah setidaknya sudah mencapai angka Rp9.000 triliun per tanggal 28 Februari 2025.