Setelah film doppelgänger, genre cloning dan multiple body tampaknya semakin diminati oleh para pembuat film. Pada tahun lalu terdapat “The Substance”, sebelumnya ada seri anime berjudul “Lookism” yang membahas topik serupa yakni individu memiliki dua bentuk badan secara bergantian. Untuk tahun ini akan hadir “Mickey 17” yang mengeksplorasi pemanfaatan teknologi cloning dalam eksplorasi ruang angkasa.
Di tahun 2054, proses kloning tetap menjadi hal terlarang dan dipandang negatif di Bumi. Akan tetapi, Kenneth Marshall (Mark Ruffalo) memegag ide ini yang dia sebut sebagai “expendable”. Dia menjamin bahwa teknologi kloning itu hanya bakal digunakan diluar atmosfer Bumi bagi mereka yang dikenal sebagai pekerja ‘expendable’ dengan pemantauan ketat. Apabila ada lebih dari satu salinan klon aktif secara simultan, setidaknya satunya wajib dinonaktifkan.
Mickey Barnes (Robert Pattinson) menyetujui untuk menjadi expendable sesudah diancam akan dibunuh oleh seorang rentenir. Dia kemudian bergabung sebagai kru pada sebuah kapal penjelajah ruang angkasa yang bertolak ke arah planet es yang disebut Niflheim.
Sebagai seorang expendable, Mickey perlu senantiasa siaga menghadapi kematian. Dia ditugaskan untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan tingkat bahaya yang tinggi. Setelah jasadnya tidak lagi hidup, tubuhnya direproduksi ulang dan memori-memorinya dipindahkan.
Saat tiba di Planet Niflheim dan ditugasi untuk mengejar hewan lokal planet itu, Mickey telah mencapai tahap 17 yang kemudian membuatnya dikenal sebagai Mickey 17. Kendala timbul saat mereka menyadari bahwa binatang asli dari planet tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi awal.
Temanya tentang Dunia distopi, Kelangkaan Sumber Daya, serta Teknologi Terlarang
Bong Joon-ho yang terkenal karena keberhasilannya dalam menyutradarai Parasite, akan menyesuaikan naskahnovel Mickey 17 karangan Edward Ashton. Dia juga yang bertanggung jawab atas penulisan skenario serta penyutradaraan film tersebut.
Tema dystopi, kelangkaan sumber daya, serta teknologi kontroversial tersebut sejalan dengan proyek-proyek yang telah diarahkan oleh Bong Joon-ho. Melihat Mickey 17 serupa dengan gabungan antara Snowpiercer dan Okja—kedua-duanya garapan Bong Joon-ho menggunakan elemen-elemen serupa namun dengan pendekatan memasak atau penyajian unik.
Dalam film Okja terdapat aspek teknologi yang dianggap tak etis dan dapat merugikan subjek percobaan layaknya apa yang dirasakan oleh para expendable. Meski telah menjalani siklus kematian dan kelahiran berkali-kali, Mickey masih menunjukkan rasa takut saat menghadapi kematiannya lagi. Sementara itu, dalam serial Snowpiercer digambarkan sebuah dunia distopik serta batasan-batasan pada sumber daya. Di dalam pesawat yang mengantarkan tim kru beserta awak ke arah Niflheim, mereka diberi aturan untuk hanya memakan porsi tertentu; setiap orang wajib menghemat makanan mereka agar cukup sampai tujuan.
Walaupun Bong Joon-ho mengadaptasi pengetahuan yang didapatkannya dari karya-karyanya sebelumnya, namun film Mickey 17 ini masih sangat menarik untuk disaksikan. Kontribusi paling signifikan berasal dari akting apik Robert Pattinson dan Mark Ruffalo dalam peran mereka masing-masing sebagai Mickey dan Marshall.
Sejak membintangi Lighthouse, Pattinson mulai lebih terbuka dan berani mencoba genrefilm yang mengharuskannya memerankan karakter jelek atau gila. Ia sukses melakukannya. Dalam Mickey 17, dia merportretkan tokoh muda yang naif serta tidak cerdas namun jujur.
Hal serupa dapat diamati pada Mark Ruffalo, yang tetap stabil dalam penampilannya. Dia menampilkan karakter yang jauh berbeda saat membintangi “Poor Things” dibandingkan dengan perdananya sebagai Hulk. Dalam film “Mickey 17”, dia tampak tak kalah gila seperti halnya di “Poor Things”. Penyampaian perannya sebagai seorang Marshal egois pun berhasil dilakukan dengan baik olehnya.
Secara cerita memang kurang baru dan tempo film ini cukup lamban sehingga bisa membuat bosan. Namun, apa yang menarik dari Mickey 17 di sini adalah konsep film serta penampilan para aktornya.
Mickey 17 mirip seperti gabungan antara Snowpiercer dan Okja tetapi dengan sentuhan yang lebih segar. Isu tentang klona menjadi titik utama di sini; apakah manusia seharusnya menjadi objek percobaan untuk masalah kehidupan dan kematian berulang?