Dalam dunia akademik, riset dan publikasi karya ilmiah telah menjadi tolak ukur utama untuk menilai produktivitas dan kompetensi dosen. Semakin tinggi jabatan akademik seorang dosen, semakin besar pula bobot persentase untuk penelitian dan publikasi karya ilmiah dalam evaluasi karirnya. Sayangnya, kebijakan yang bertujuan mendorong peningkatan produktivitas akademik justru menciptakan fenomena negatif yang dikenal sebagai Efek Kobra, di mana langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki masalah berbalik menjadi bumerang.
Produktivitas yang Tidak Wajar
Dalam beberapa kasus, fenomena ini tampak pada dosen yang mampu mempublikasikan puluhan hingga ratusan artikel dalam setahun. Secara metodologis dan prosedural, hal ini patut dipertanyakan, terutama jika mereka menggunakan jalan pintas yang meragukan integritas akademik. Salah satu cara yang sering digunakan adalah pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk memproduksi artikel dengan cepat, atau bahkan menggunakan jasa ghost writer. Selain itu, banyak dosen yang memanfaatkan karya tugas akhir mahasiswa seperti skripsi, tesis, atau disertasi untuk diterbitkan sebagai artikel jurnal. Fenomena arisan artikel juga menjadi salah satu cara lain untuk memastikan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi, khususnya yang terindeks Scopus.
Praktik-praktik seperti ini menciptakan sebuah paradoks, di mana jumlah publikasi ilmiah meningkat secara signifikan, tetapi kualitas serta integritas akademik justru menurun. Dalam konteks ini, kuantitas menjadi prioritas yang menenggelamkan kualitas, dan akhirnya merusak fondasi integritas akademik di pendidikan tinggi.
Meningkatnya Tekanan untuk Publikasi
Penyebab utama dari fenomena ini adalah regulasi yang mengikat produktivitas akademik dengan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi internasional. Kebijakan yang menuntut publikasi di jurnal terindeks Scopus sebagai syarat kenaikan jabatan dan kelulusan mahasiswa Doktoral telah menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi para dosen. Selain itu, beberapa perguruan tinggi menawarkan insentif finansial yang besar bagi dosen yang berhasil mempublikasikan riset mereka di jurnal internasional bereputasi. Kombinasi antara regulasi ketat dan insentif besar ini membuat banyak dosen tergoda untuk mengambil jalan pintas guna memenuhi tuntutan tersebut.
Pada awalnya, upaya ini bertujuan baik. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berusaha meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dosen Indonesia di jurnal bereputasi untuk menyaingi negara-negara tetangga, seperti Malaysia. Pada tahun 2016, jumlah publikasi ilmiah dosen Indonesia yang terindeks Scopus mencapai 9.457 karya, melebihi target kementerian yang hanya 6.229. Namun, peningkatan jumlah ini disertai dengan praktik-praktik yang meragukan dan mengarah pada eksploitasi sistem.
Jurnal Predator dan Praktik Curang
Seiring dengan tekanan untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional, munculnya jurnal predator semakin memperburuk situasi. Jurnal-jurnal ini biasanya berbayar, menawarkan proses publikasi yang cepat tanpa melalui proses peer review yang ketat, dan dengan demikian, memungkinkan publikasi artikel tanpa jaminan kualitas ilmiah yang memadai. Para “peternak artikel” dan “peternak jurnal Scopus” menjadi fenomena yang umum, di mana dosen-dosen yang merasa tertekan atau ingin cepat menaikkan karir akademik mereka, tertarik untuk memanfaatkan jasa pembuatan artikel dan publikasi melalui jalur ini.
Di sisi lain, riset yang dilakukan oleh Charles University Praha dalam studi mereka berjudul “Predatory Publishing in Scopus: Evidence on Cross-Country Differences” menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara kedua dengan jumlah publikasi terbesar di jurnal predator terindeks Scopus pada periode 2015-2017. Data ini semakin menguatkan bukti bahwa banyak dosen yang tergoda untuk memanfaatkan jurnal predator sebagai jalan pintas untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat dan jabatan akademik mereka.
Moralitas dan Integritas yang Tergadai
Fenomena Efek Kobra dalam publikasi ilmiah dosen ini tidak hanya berdampak pada kuantitas publikasi, tetapi juga menggoyahkan moralitas, integritas, dan kualitas akademik dalam pendidikan tinggi. Bagaimana tidak, dosen yang seharusnya menjadi peneliti utama dan teladan bagi mahasiswa dalam hal etika akademik justru terjebak dalam praktik-praktik curang. Jalan pintas ini, meskipun memberikan hasil publikasi yang besar dalam waktu singkat, merusak esensi dari penelitian itu sendiri, yang seharusnya didasarkan pada eksplorasi ilmiah yang mendalam dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kembali ke Jalan yang Benar
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang tidak hanya memperbaiki regulasi tetapi juga membangun kembali integritas akademik di kalangan dosen. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar dosen dapat kembali ke jalan yang benar dalam menjalani karir akademik mereka.
- Revisi Kebijakan Publikasi
Regulasi yang terlalu ketat dan menuntut jumlah publikasi yang besar perlu dievaluasi ulang. Sebagai contoh, syarat wajib publikasi di jurnal Scopus untuk mahasiswa Doktoral bisa diubah menjadi syarat khusus untuk mendapatkan gelar cum laude, bukan sebagai syarat mutlak untuk kelulusan. Hal ini dapat mengurangi tekanan yang berlebihan bagi mahasiswa dan dosen, serta meminimalkan godaan untuk mengambil jalan pintas. - Academic Writing Clinic
Setiap perguruan tinggi perlu memiliki klinik penulisan akademik yang berfungsi sebagai tempat rehabilitasi bagi dosen yang telah terjebak dalam Efek Kobra. Klinik ini dapat menyediakan pelatihan intensif mengenai riset yang benar, penulisan akademik, dan etika publikasi. Dosen perlu memahami perbedaan antara riset untuk tugas akhir dan riset untuk publikasi di jurnal internasional bereputasi yang mengedepankan standar etik internasional. - Membangun Kesadaran Esensi Dosen sebagai Peneliti
Penting untuk mengingatkan kembali esensi dari profesi dosen sebagai peneliti. Produktivitas dosen tidak seharusnya hanya diukur dari jumlah publikasi yang dihasilkan, tetapi juga dari kualitas riset dan kontribusi ilmiahnya terhadap masyarakat. Sistem penghargaan akademik perlu mengedepankan aspek etika dan integritas dalam menilai produktivitas dosen.
Dengan langkah-langkah ini, kita dapat mencegah Efek Kobra dari semakin merusak dunia akademik, sekaligus mengembalikan esensi riset dan publikasi ilmiah sebagai bagian dari kontribusi dosen terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.