Voxnes.com
– Rasa sakit kronis merupakan permasalahan kesehatan yang mempengaruhi jutaan individu di berbagai belahan dunia, dengan pengaruhnya melampaui aspek fisik semata.
Tinjauan terakhir yang mencakup lebih dari 375 penelitian mengungkapkan hubungan penting antara rasa sakit berkelanjutan dan masalah kejiwaan.
Dari studi itu diketahui bahwa kira-kira 40% orang dewasa yang menderita rasa sakit berkelanjutan juga menghadapi level depresi dan kegelisahan yang signifikan, suatu temuan yang memprihatinkan karena minimnya perawatan menyeluruh bagi kedua masalah ini.
Penelitian ini dikendalikan oleh tim riset dari Johns Hopkins Medicine, yang menyoroti kesesuaian melakukan pemeriksaan berkala terhadap depresi dan kegelisahan pada orang-orang dengan rasa sakit kronis.
Peneliti pun mengamati bahwa perempuan, remaja dan individu yang mengidap fibromyalgia merupakan golongan yang lebih berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan mental akibat rasa sakit jangka panjang.
Seiring bertahun-tahun, berbagai studi telah mengungkapkan bahwa rasa sakit yang berkelanjutan dan masalah kesehatan jiwa cenderung muncul secara bersamaan.
Akan tetapi, studi terkini ini menunjukkan bahwa ikatan di antara keduanya justru lebih dekat dari apa yang sempat diprediksi sebelumnya.
Penemuan ini menegaskan kembali kebutuhan akan perawatan kesehatan jiwa sebagai komponen dalam mengelola rasa sakit jangka panjang, yaitu rasa sakit yang bertahan selama lebih dari tiga bulan.
Rasa sakit yang terus-menerus bisa mengakibatkan ketidakmampuan, menimbulkan dampak pada kesanggupan orang tersebut untuk melakukan pekerjaan, istirahat, serta ikut dalam rutinitas harian.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kira-kira 51,6 juta orang dewasa di Amerika Serikat, atau kurang lebih 21% dari total penduduknya, menderita rasa sakit berkelanjutan pada tahun 2021.
Dari kelompok tersebut, sekitar 20% sampai 40% juga menderita depresi dan kegelisahan.
Dr. Rachel Aaron, ketua penelitian ini dan sekaligus dosen asisten dalam departemen kedokteran fisiologi dan rehabilitasi di John Hopkins University School of Medicine, menyatakan, “Saat ini kita sudah mempunyai obat-obatan yang cukup baik untuk mengatasi depresi dan kegelisahan, termasuk rasa sakit jangka panjang; namun biasanya perawatan-perawatan tersebut dipisahkan.”
Banyak penelitian justru mendiskualifikasi orang dengan rasa sakit berkelanjutan yang juga menderita depresi atau kekhawatiran dari percobaan medis. Kita perlu metode penyembuhan terpadu untuk meredakan rasa sakit jangka panjang serta masalah kesejahteraan psikologis sekaligus, dia melanjutkan.
Untuk mengukur sejauh mana tingkat kesulitan tersebut, para peneliti memeriksa informasi dari 376 riset yang berlangsung mulai tahun 2013 hingga 2023. Riset-riset itu mencakup 347.468 orang dewasa di atas usia dari total 50 negera berbeda.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seringnya orang yang mengidap rasa sakit terus-menerus merasakan depresi atau cemas, serta ingin melihat perbedaannya dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gangguan seperti itu.
Pemilihan topik pada studi ini meliputi tanda-tanda klinik dari rekam medis pasien, standar diagnosa yang terdapat dalam Buku Diagnosa dan Statistik Gangguan Jiwa (DSM-5), bersama dengan beberapa faktor demografi lainnya termasuk umur, gender, tempat tinggal, serta lama waktu mengalami rasa sakit.
Temuan studi tersebut menyatakan bahwa 39% responden yang menderita rasa sakit terus-menerus juga mengidap depresi klinis, dan sekitar 40% lainnya mengalaminya dalam bentuk kegelisahan klinis.
Dari jumlah tersebut, sekitar 37% di antaranya menderita depresi Mayor, dan hanya 6% lainnya yang mengidap depresi Kronis.
Kecemasan umum melanda sekitar 17% dari populasi, sedangkan 8% mengalami serangan panic attack. Di sisi lain, hanya dua persen yang terkena dampak oleh kecemasan sosial.
Informasi tersebut menegaskan hipotesis bahwa kejadian negatif sepanjang hayat beserta stres emosi bisa mendorong peningkatan potensi mengidap rasa sakit nociplastik jangka panjang, hal ini berkaitan dengan modifikasi pada mekanisme otak dan sumsum tulang belakang dalam mentransmisikan sinyal ketidaknyamanan.
Walaupun terdapat keterkaitan erat antara rasa sakit jangka panjang dengan kondisi psikologis, disayangkan sekali bahwa pemeriksaan mengenai depresi dan kekhawatiran belum menjadi bagian dari tata laksana standar untuk masalah kesakitan berkelanjutan tersebut.
Banyak orang dengan rasa sakit terus-menerus yang juga merasakan depresi atau cemas memiliki tantangan dalam memperoleh penanganan yang tepat. Bahkan, sebagian dari mereka ditolak ikut serta dalam percobaan medis yang bertujuan mengevaluasi obat-obatan baru bagi penderita nyeri.
“Penderita rasa sakit kronis memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan depresi serta cemas daripada orang biasa. Hal tersebut menjadi permasalahan kesehatan publik yang signifikan sehingga sebaiknya ditangani melalui pemeriksaan berkala akan hal itu dalam konteks medis,” jelas Dr. Aaron.
“Di sisi lain, kebanyakan orang yang menderita rasa sakit terus-menerus tidak mengalami depresi ataupun cemas. Hasil penelitian ini membantahkan anggapan bahwa rasa sakit terus-menerus senantiasa berhubungan dengan perasaan sedih dan memberikan pengingat bahwa mereka yang memiliki rasa sakit terus-menerus tetap bisa mempertahankan kesejahteraan mental yang baik,” jelasnya.
Hasil penelitian ini mengindikasikan kebutuhan akan transformasi pada metode penyembuhan terkait rasa sakit jangka panjang serta masalah kesejahteraan psikologis.
Sebaliknya dari menyikapi keduanya sebagai permasalahan tersendiri, penting bagi para praktisi medis untuk merancang strategi yang mampu menyelesaikan kedua hal tersebut dengan bersama-sama.
Inovasi seperti program terapi yang disegabungkan, perbaikan proses pemeriksaan awal di lingkungan klinik, dan batasan partisipasi yang lebih besar dalam studi uji coba dapat memberikan manfaat signifikan.
Mengakui hubungan antara rasa sakit jangka panjang dan masalah kejiwaan merupakan tahap pertama dalam arah transformasi besar, yang bisa meningkatkan mutu hidup bagi orang-orang yang menghadapi penderitaan terus-menerus serta hambatan kesejahteraan psikologis yang umumnya berkaitan dengannya.
Riset selengkapnya sudah diumumkan dalam jurnal JAMA Network Open.