Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, yang menandai puncak perebutan tampuk kepemimpinan di berbagai daerah Indonesia, diprediksi akan berjalan ketat di sejumlah wilayah. Namun, dibalik sorotan publik pada pertempuran politik yang sengit, tersimpan potensi ancaman kecurangan yang merayap di balik tirai wilayah terpencil.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengungkap kekhawatirannya pada Sabtu, 21 September 2024, bahwa pengawasan Pilkada di wilayah terpencil bisa saja ditinggalkan begitu saja.
“Bukan tidak mungkin ada pilkada-pilkada yang jumlah potensial kecurangannya sangat besar, tidak teramati,” ujar Feri di Kekini Workspace, Cikini, Jakarta Pusat.
Tantangan Pemantauan di Wilayah Terpencil
Feri menjelaskan bahwa tidak hanya daerah-daerah yang menjadi pusat perhatian publik yang rawan akan kecurangan dalam Pilkada. Wilayah terpencil justru menjadi titik lemah yang mudah dilalui oleh praktik-praktik manipulasi suara. Kurangnya perhatian dari masyarakat sipil dan terbatasnya tenaga pemantau menjadi faktor utama yang memperparah situasi.
“Itu jadi problematika karena kita sendiri kalau mau jadi pemantau pilkada, kecurangan itu, kita sendiri dibebani untuk memantau di tiap-tiap daerah,” ungkap Feri.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun, menurut Feri, minim memberikan dukungan kepada kelompok masyarakat untuk mengawasi Pilkada di wilayah terpencil. Padahal, peran masyarakat sipil sebagai garda terdepan dalam menjaga integritas Pemilu sangat krusial.
Kecurangan: Menakutkan dan Multifaset
Feri merinci berbagai modus kecurangan yang mungkin terjadi dalam Pilkada, salah satunya adalah ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN yang tidak mematuhi prinsip netralitas dalam Pilkada berpotensi memecah belah kesatuan dan merusak prinsip keadilan hukum.
“Netralitas itu untuk pertama, untuk menjaga agar layanan publik tetap prima,” tegas Feri.
Ketidaknetralan ASN dapat diimplementasikan dalam berbagai cara, misalnya di bidang pelayanan publik, seperti kesehatan.
Bayangkan, jika petugas medis di fasilitas kesehatan mengutamakan pasien yang mendukung calon tertentu dan mengabaikan pasien yang dari kubu lawan. Hal ini tentu akan merugikan masyarakat dan menggagalkan prinsip pemerataan layanan kesehatan.
“Keuntungannya hanya untuk satu calon, tapi warga yang tidak mendukung calon itu justru dirugikan. Padahal, layanan kesehatan itu harus disamaratakan,” imbuhnya.
Ancaman Profesi untuk ASN yang Berani Beri Suara
Selain menghambat keadilan dan pelayanan publik, ketidaknetralan ASN juga membuka peluang bagi praktik penyuapan dan ancaman yang mengancam keselamatan dan karir ASN tersebut.
“Kedua, ASN itu mudah sekali dimanfaatkan, diancam, dia pindah tempat, pindah kerjaan, lalu turun pangkat dan lain-lain,” ungkap Feri, menggambarkan potensi ancaman yang mengerikan bagi ASN yang berani menolak mengikuti arus manipulasi.
Membutuhkan Etika dan Profesionalitas
Pilkada Serentak 2024 menuntut kualitas etika dan profesionalitas tinggi, terutama dari para penyelenggara Pemilu dan ASN.
Pengalaman seperti demonstrasi yang terjadi beberapa waktu lalu, menunjukan kekhawatiran masyarakat tentang kesisteman yang mungkin terjadi di beberapa daerah.
Masyarakat perlu lebih aktif mengawasi proses jejak Pilkada, termasuk di wilayah terpencil. Lembaga pemantau dan jurnalis konsisten berperan dalam meninusaratkan praktik curang dan memberikan informasi kepada publik. hanya dengan kerja sama dan pengawasan yang ketat, Pilkada 2024 dapat berjalan lebih bersih dan menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis dan adil.