Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang bakal menggelar kontestasi serentak senasional untuk pertama kalinya menjadi sebuah momen penting bagi Indonesia. Namun, muncul pertanyaan baru terkait Pilkada Ulang 2025, khususnya terkait masa jabatan kepala daerah yang terpilih.
Sebagaimana diketahui, Pilkada 2024 hanya akan diulang tahun depan jika terjadi satu pasangan calon dalam sebuah kontestasi daerah dan gagal meraih suara 50% plus satu alias kalah melawan kolom kotak kosong. Keputusan ini telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pilkada Ulang 2025 akan dilangsungkan bagi daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong.
Tanda Tanya Masa Jabatan Kepala Daerah
Kendati telah disepakati, pilkada ulang 2025 menimbulkan tanda tanya besar tentang masa jabatan kepala daerah yang nantinya terpilih. Hal ini dikarenakan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2024 akan menjabat selama 5 tahun, sedangkan Pilkada berikutnya akan dilaksanakan pada tahun 2029.
Kontensasi pilkada yang tertunda dan potensi pemungutan suara ulang memunculkan pertanyaan besar: Apakah masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada pilkada tahun depan akan mengikut keserentakan dengan yang terpilih pada Pilkada 2024 atau tidak?
Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin belum dapat memastikan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa pengaturan masa jabatan hasil pilkada ulang merupakan kewenangan pemerintah. “Itu kewenangan pemerintah. Nanti pasti akan ada perkembangan pembahasan karena ini kan situasi yang tak terpikirkan. Kita carikan jalan keluar yang terbaik,” jelas Afifuddin di Maros, Sulawesi Selatan, Minggu (15/9).
Revisi Undang-Undang
Mantan komisioner KPU RI sekaligus Direktur Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai bahwa pilkada ulang akan mengganggu makna keserentakan. Idealnya, masa jabatan kepala daerah dalam undang-undang yang berlaku saat ini adalah lima tahun.
“Dibuat juga pengaturan tersediri pada daerah dengan kondisi terkait, masa jabatan berakhir sampai pilkada serempak berikutnya. Perlu dibuat perubahan undang-undang,” tandas Hadar.
Hadar menilai bahwa pilkada calon tunggal yang kalah melawan kotak kosong harus dikategorikan sebagai keadaan khusus atau pengecualian. Ia menambahkan bahwa perlu adanya revisi Undang-Undang Pilakda untuk memaknakan keserentakan soal masa jabatan kepala daerah hasil pilkada ulang.
KEPUTUSAN STRATEGIS
Menariknya, situasi ini menciptakan teka-teki yang memaksa pemerintah dan lembagaLegislative untuk melakukan langkah strategis.
Perencanaan masa jabatan kepala daerah akan menjadi fokus pembahasan. Pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk konsistensi sistem pemilu, efektivitas pemerintahan, dan kesejahteraan masyarakat.
PILIHAN YANG JELAS:
Pengambilan keputusan yang tepat perlu dilakukan dengan melalui proses diskusi yang komprehensif. Semua pihak, dari pemerintah, KPU, DPR, hingga pakar hukum dan masyarakat sipil, perlu berkontribusi dalam mencari solusi terbaik.
Penting untuk diingat bahwa Pilkada Ulang 2025 bukanlah masalah biasa. Lebih daripada sekedar penyelenggaraan pemilu ulang, ini adalah kesempatan untuk memperkuat sistem demokrasi Indonesia dengan menciptakan solusi inovatif yang berkelanjutan.