Bisnis teknologi raksasa seperti Google, Meta, dan TikTok telah menjadi inti kehidupan modern. Mereka menjadi pintu gerbang menuju informasi, jejaring sosial, dan komunikasi global. Namun, dominasi mereka menimbulkan pertanyaan besar bagi para penguasa. Bagaimana menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan privasi dan kesejahteraan masyarakat?
Seiring bertambahnya kekuasaan platform digital dan akses data yang luas, sorotan pun tertuju pada regulasi data yang semakin ketat. Perdebatan sengit meletus di tengah tarik ulur antara perusahaan teknologi dan pemerintah tentang cara mengatur ruang siber.
Slippery Slope ke Era Kontrol Data
Setiap pemerintahan berupaya menghadirkan solusi untuk mengendalikan arus informasi dan data. Beberapa negara berfokus pada perlindungan privasi melalui undang-undang nasional, sementara yang lain melihat ancaman keamanan yang lebih spesifik terkait perusahaan asing dengan potensi siluman.
Regulasi data pribadi sebelumnya seperti GDPR di Uni Eropa, memberikan hak kepada individu untuk mengakses, memperbaiki, atau menghapus data mereka. Perusahaan teknologi dituntut untuk mendapatkan persetujuan eksplisit saat mengumpulkan informasi pengguna.
Pada satu sisi, regulasi seperti ini diharapkan dapat melindungi individu dari penyalahgunaan data dan privasi. Namun, di sisi lain, perusahaan teknologi dan para pendukungnya mengkhawatirkan regulasi ini dapat membatasi inovasi dan perkembangan teknologi menjadikan keadilan dalam akses informasi menjadi silap mata.
Beberapa negara telah mengambil langkah agresif untuk mengendalikan peran perusahaan teknologi yang berpotensi terkait kekuatan asing. Australia menjadi negara pertama yang melarang Huawei berpartisipasi dalam pengembangan jaringan 5G pada tahun 2018, didasari oleh peringatan keamanan dari Amerika Serikat terkait potensi operasi spionase oleh Tiongkok.
Inggris, Selandia Baru, Jepang, dan Kanada mengikuti jejak ini dalam beberapa tahun berikutnya, mencermintakan kekhawatiran global terkait dominasi perusahaan teknologi asing dan potensi ancaman keamanan. AS bahkan melangkah lebih jauh dengan Montana melarang platform media sosial TikTok secara menyeluruh atas alasan keamanan nasional.
Peran Kritis Media Online dan Media Sosial di Era Post Truth Politics
Antara regulasi yang semakin ketat dan kekhawatiran tentang dominasi perusahaan teknologi, muncul pertanyaan semakin penting mengenai peran media online dan media sosial di era Post Truth Politics.
Fauzi Rahman, penggiat teknologi informasi dan CEO PT Skema Data Indonesia, menyatakan bahwa media online dan media sosial memiliki peran kritis yang semakin besar. Sejak era 2012 hingga 2015, media online menjadi penentu dalam pembentukan persepsi publik. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat menjadi semakin kritis terhadap informasi yang tersebar di media online.
“Kini di tahun 2024, media sosial berperan lebih signifikan,” ujar Fauzi Rahman dalam acara Smart City Tech Fest, Kamis (19/9).
Sebagai konsekuensi, jumlah dan keragaman sumber data menjadi lebih kompleks dan sulit dikelola, dibandingkan periode sebelumnya. Menurutnya, solusi utama untuk mengatasi tantangan tersebut adalah big data media monitoring dan social media monitoring yang dilakukan secara real-time.
“Big data media monitoring dan social media monitoring menjadi kunci utama untuk melakukan monitoring terhadap data yang semakin besar dan variatif di komponen media online dan media sosial.”
Dengan solusi ini, Fauzi Rahman yakin pemerintah dapat memonitor berbagai isu dan permasalahan secara real-time,
misalnya respons dan tanggapan warga terkait pembangunan IKN.
Mengutip contoh pembangunan Ibu Kota Nusantara, Fauzi Rahman menjelaskan bahwa big data media monitoring dan social media monitoring dapat memetakan respon positif, negatif, atau netral dari masyarakat di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
“Dengan big data media monitoring dan social media monitoring, pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat memperoleh gambaran real-time mengenai penerimaan masyarakat terhadap pembangunan IKN,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana manfaat big data media monitoring dan social media monitoring bagi pembangunan smart city?
Fauzi Rahman menekankan bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan perlu melakukan analisis kebutuhan masyarakat atau respons masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam rangka membangun daerahnya.
“Dari hasil analisis big data media monitoring dan social media monitoring, pemerintah dapat memiliki acuan untuk mengambil langkah dan kebijakan strategis untuk melanjutkan atau menghentikan program yang sedang dijalankan sehingga tidak ada resistensi di masyarakat,” pungkasnya.
Harapannya, dengan solusi ini, pemerintah dapat membangun kota-kota pintar dan modern yang berkelanjutan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.