Pendidikan sering dianggap sebagai anugerah besar yang diberikan oleh masyarakat kepada kita. Namun, pendidikan bukan sekadar soal mendapatkan gelar atau pekerjaan yang layak. Melalui pendidikan, kita seharusnya mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri, membuka wawasan, dan yang lebih penting, memperbaiki kualitas hidup baik untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Tetapi kenyataannya, ada masalah besar yang muncul dalam masyarakat kita. Ketika saya menjalani pendidikan S1, saya sering bertemu dengan mahasiswa yang tampak kehilangan arah. Banyak dari mereka mengaku tidak tahu mengapa mereka harus kuliah. Ada yang bahkan mengungkapkan bahwa mereka hanya kuliah karena desakan orang tua, dengan harapan bisa mendapatkan ijazah dan pekerjaan yang menjanjikan. Lalu muncul pertanyaan: apakah pendidikan kini hanya sekadar alat untuk mencapai tujuan pragmatis?
Pengalaman ini membuat saya semakin curiga bahwa persepsi kita tentang pendidikan telah bergeser jauh dari esensinya. Kuliah, yang seharusnya menjadi ladang untuk menumbuhkan ilmu dan kepekaan sosial, kini lebih sering dipandang sebagai jalan menuju akumulasi kekayaan material. Bagi banyak orang, pendidikan dianggap sebagai investasi finansial: keluarkan biaya besar sekarang, panen gaji tinggi di kemudian hari. Status sosial menjadi ukuran keberhasilan, dan sayangnya, ukuran ini lebih sering dilihat dari seberapa tebal dompet seseorang, ketimbang seberapa dalam pemahamannya tentang ilmu pengetahuan. Pendidikan, yang sejatinya bertujuan untuk mengejar kebenaran, mengasah nalar kritis, dan meningkatkan kualitas hidup manusia, kini tersisihkan oleh paradigma yang lebih dangkal: sekolah untuk uang, bukan untuk ilmu pengetahuan.
Jika persepsi ini terus mendominasi, maka wajar bila etos ilmiah menjadi barang langka di tengah masyarakat kita. Lihatlah apa yang terjadi di dunia akademik. Kampus, yang seharusnya menjadi laboratorium pengembangan ilmu pengetahuan, kini kerap tercemar oleh praktik-praktik memalukan. Plagiasi menjadi hal biasa, seolah integritas intelektual hanyalah formalitas. Bahkan, gelar akademik tak lagi sakral; ada yang memperjualbelikan gelar seolah itu barang dagangan pasar.
Lebih dari itu, kampus tak lagi sekadar ruang intelektual. Birokrasi di dalamnya sering beroperasi layaknya korporasi bisnis, bahkan tercemar oleh politik kekuasaan. Akibatnya, kita menyaksikan praktik-praktik kotor seperti pembungkaman suara kritis. Mahasiswa atau dosen yang berani mengungkapkan ketidakadilan sering kali ditekan, baik secara halus maupun terang-terangan. Ketika kasus pelecehan atau korupsi terbongkar, respons kampus sering lamban atau berusaha menutup-nutupi demi menjaga citra. Sikap ini menunjukkan bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi teladan moral dan intelektual, justru terjerat oleh kepentingan pragmatis sebagian orang.
Dampak dari paradigma ini terlihat jelas dalam cara kita mengukur prestasi pendidikan. Pertama, kompetisi lebih dihargai ketimbang kolaborasi. Mahasiswa diajarkan untuk saling bersaing, dari nilai IPK hingga perebutan beasiswa, alih-alih bekerja sama untuk menyelesaikan masalah bangsa. Kedua, pekerjaan menjadi tujuan akhir, bukan aktivisme. Banyak yang kuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, tanpa peduli bagaimana ilmu mereka bisa berkontribusi untuk masyarakat. Ketiga, penguasaan harta lebih dihargai daripada penguasaan ilmu pengetahuan. Lulusan dinilai sukses jika mereka kaya, bukan jika mereka mampu berkontribusi pada bangsa dan negara.
Padahal, negara kita saat ini menghadapi tantangan yang luar biasa kompleks. Kemiskinan masih menggerogoti jutaan jiwa, ketimpangan sosial semakin tajam, dan krisis lingkungan mengancam keberlangsungan hidup kita. Di tengah semua itu, kaum muda terpelajar seharusnya menjadi ujung tombak perubahan. Dengan ilmu yang mereka miliki, mereka bisa merancang solusi inovatif, mulai dari teknologi ramah lingkungan hingga sistem ekonomi yang lebih adil. Mereka bisa menggerakkan masyarakat melalui ide-ide segar dan aksi nyata. Namun, semua potensi itu sia-sia jika ilmu hanya berhenti di kepala, tidak pernah sampai ke tangan. Masyarakat tidak membutuhkan orang cerdas yang hanya pandai berteori di menara gading, tetapi individu yang berani turun ke lapangan, bekerja keras, dan melebur dengan kebutuhan riil rakyat.
Sayangnya, realitasnya jauh dari harapan. Banyak kaum muda terpelajar yang justru terjebak dalam sikap elitis. Mereka merasa pendidikan mereka adalah tiket untuk hidup nyaman, bukan alat untuk memperjuangkan keadilan. Sikap ini tidak hanya mengecewakan, tetapi juga berbahaya. Jika pendidikan hanya melahirkan individu-individu yang egois dan terpisah dari realitas sosial, lalu apa gunanya semua sumber daya yang telah masyarakat curahkan untuk mencerdaskan mereka? Bukankah pendidikan adalah investasi kolektif dari pajak rakyat, dukungan keluarga, hingga infrastruktur publik yang seharusnya menghasilkan kebaikan bersama, bukan hanya keuntungan pribadi?
Inilah saatnya kita merenungkan kembali makna pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal mencetak tenaga kerja atau menumpuk gelar. Ia adalah proses untuk membentuk manusia yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Kaum muda terpelajar harus menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki adalah amanah, bukan sekadar privilege untuk dipamerkan. Mereka harus memiliki kepekaan sosial untuk melihat apa yang dibutuhkan masyarakat dan keberanian untuk bertindak demi memenuhi kebutuhan itu. Tanpa kesadaran ini, pendidikan kehilangan ruhnya.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pemikiran Tan Malaka yang relevan dengan kondisi ini: “bila kaum muda terpelajar menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat dan melakukan kerja-kerja konkret yang bisa memenuhi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka lebih baik pendidikan itu tidak ada sama sekali. Manusia-manusia terdidik harus setidak-tidaknya, sekurang-kurangnya, punya cukup martabat dan kesadaran sosial untuk memberikan kontribusi balik kepada masyarakat setelah sedemikian banyak yang masyarakat berikan ke kita semua.”
Pendidikan bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang untuk membayar utang kita kepada dunia. Mari pastikan bahwa ilmu yang kita miliki tidak berhenti sebagai trofi pribadi, tetapi menjadi alat untuk membangun kehidupan yang lebih baik.