Dengan menggunakan situs ini, Anda setuju dengan Kebijakan Privasi dan Ketentuan Penggunaan.
Terima
Minggu, 6 Jul 2025
  • Bookmark
  • Riwayat Bacaan
Ikuti Buletin
Voxnes Logo Voxnes Logo
  • Berita
  • Nusantara

    Penambahan Covid-19 dI Probolinggo Catat Rekor, 145 Kasus

    Oleh Angga Maulana

    Dibilang Kalah oleh Kakaknya, Begini Jawaban Alex Marquez

    Oleh Rany Nasution

    Perbedaan Tingkat! Tim ASEAN Hanya Bisa Bersaing dengan Tim Nasional Indonesia di Turnamen Ini, Mungkin Dua Tahun Lagi

    Oleh Rany Nasution

    Balikpapan Belum Beranjak dari Zona Merah Covid-19

    Oleh Angga Maulana

    Warga Cijeruk Bogor Dibacok Kelompok Bermotor, Empat Orang Jadi Tersangka

    Oleh Angga Maulana

    7 Kota dengan Kuliner Kaki Lima Terbaik di Asia Versi Agoda

    Oleh Rany Nasution
  • Global
  • Bisnis
    PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP) mengantongi pendapatan Rp 7,8 triliun di semester I 2023 atau tumbuh lima persen  dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu.

    Bukukan Pendapatan Rp 7,8 Triliun, CSAP Ekspansi Segmen Ritel Modern

    Oleh Angga Maulana
    Akselerasi Waskita Karya Pasca Efektif Restrukturisasi

    Waskita Karya Restrukturisasi Pinjaman 26,3 Triliun dan Dapatkan Persetujuan Perjanjian KMKP

    Oleh cris a jeni putri
    Direktur Bank Indonesia Nanang Hendrasah, Wakil Rektor UGM Paripurna Sugarda dan Direktur PT BNI securities Reza Benito Zahar (dari kiri) menjadi pembicara dalam seminar Surat Berharga Komersial (SBK) di Gedung Kebon Sirih, Bank Indonesia (BI), Jakarta, Se

    Surat Berharga Komersial Dorong Penurunan Bunga Kredit Perbankan

    Oleh Angga Maulana
    Sudah di Depan Mata, MIP Batu Bara Tinggal Tunggu Paraf 1 Menteri

    Pemerintah Dekat Bentuk Badan Pengelola Iuran Batu Bara

    Oleh cris a jeni putri
    'Menang' Populasi Orang Muda, Potensi Pertumbuhan ASEAN Datang dari RI

    Menuju Indonesia Emas 2045: Momentum dan Tantangan demi Kemerdekaan ke-100

    Oleh cris a jeni putri
    Begini Cara Bayar Pajak Jasa Kesenian dan Hiburan Secara Online

    Dapatkan! Registrasi PBJT Jasa Kesenian Hiburan Online

    Oleh cris a jeni putri
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Indeks
Perbesar FontAa
VoxnesVoxnes
  • Bookmark
  • Riwayat Bacaan
Search
  • Nusantara
  • Global
  • Opini
  • Sosok
  • Bisnis
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Edukasi
  • Olahraga
Sudah punya akun? Masuk
Ikuti Kami
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Voxnes > Kabar > Merenungkan Kembali Esensi Pendidikan
KabarEduaction

Merenungkan Kembali Esensi Pendidikan

Muhammad Fayyadl
Terakhir diperbarui: 15 Maret 2025 10:42 pm
Muhammad Fayyadl
Bagikan
Bagikan

Pendidikan sering dianggap sebagai anugerah besar yang diberikan oleh masyarakat kepada kita. Namun, pendidikan bukan sekadar soal mendapatkan gelar atau pekerjaan yang layak. Melalui pendidikan, kita seharusnya mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri, membuka wawasan, dan yang lebih penting, memperbaiki kualitas hidup baik untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Tetapi kenyataannya, ada masalah besar yang muncul dalam masyarakat kita. Ketika saya menjalani pendidikan S1, saya sering bertemu dengan mahasiswa yang tampak kehilangan arah. Banyak dari mereka mengaku tidak tahu mengapa mereka harus kuliah. Ada yang bahkan mengungkapkan bahwa mereka hanya kuliah karena desakan orang tua, dengan harapan bisa mendapatkan ijazah dan pekerjaan yang menjanjikan. Lalu muncul pertanyaan: apakah pendidikan kini hanya sekadar alat untuk mencapai tujuan pragmatis?

Pengalaman ini membuat saya semakin curiga bahwa persepsi kita tentang pendidikan telah bergeser jauh dari esensinya. Kuliah, yang seharusnya menjadi ladang untuk menumbuhkan ilmu dan kepekaan sosial, kini lebih sering dipandang sebagai jalan menuju akumulasi kekayaan material. Bagi banyak orang, pendidikan dianggap sebagai investasi finansial: keluarkan biaya besar sekarang, panen gaji tinggi di kemudian hari. Status sosial menjadi ukuran keberhasilan, dan sayangnya, ukuran ini lebih sering dilihat dari seberapa tebal dompet seseorang, ketimbang seberapa dalam pemahamannya tentang ilmu pengetahuan. Pendidikan, yang sejatinya bertujuan untuk mengejar kebenaran, mengasah nalar kritis, dan meningkatkan kualitas hidup manusia, kini tersisihkan oleh paradigma yang lebih dangkal: sekolah untuk uang, bukan untuk ilmu pengetahuan.

Jika persepsi ini terus mendominasi, maka wajar bila etos ilmiah menjadi barang langka di tengah masyarakat kita. Lihatlah apa yang terjadi di dunia akademik. Kampus, yang seharusnya menjadi laboratorium pengembangan ilmu pengetahuan, kini kerap tercemar oleh praktik-praktik memalukan. Plagiasi menjadi hal biasa, seolah integritas intelektual hanyalah formalitas. Bahkan, gelar akademik tak lagi sakral; ada yang memperjualbelikan gelar seolah itu barang dagangan pasar.

Lebih dari itu, kampus tak lagi sekadar ruang intelektual. Birokrasi di dalamnya sering beroperasi layaknya korporasi bisnis, bahkan tercemar oleh politik kekuasaan. Akibatnya, kita menyaksikan praktik-praktik kotor seperti pembungkaman suara kritis. Mahasiswa atau dosen yang berani mengungkapkan ketidakadilan sering kali ditekan, baik secara halus maupun terang-terangan. Ketika kasus pelecehan atau korupsi terbongkar, respons kampus sering lamban atau berusaha menutup-nutupi demi menjaga citra. Sikap ini menunjukkan bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi teladan moral dan intelektual, justru terjerat oleh kepentingan pragmatis sebagian orang.

Baca Juga:Kapolri: Sebagai Muslim, Saya Juga Prihatin dengan Rohingya

Dampak dari paradigma ini terlihat jelas dalam cara kita mengukur prestasi pendidikan. Pertama, kompetisi lebih dihargai ketimbang kolaborasi. Mahasiswa diajarkan untuk saling bersaing, dari nilai IPK hingga perebutan beasiswa, alih-alih bekerja sama untuk menyelesaikan masalah bangsa. Kedua, pekerjaan menjadi tujuan akhir, bukan aktivisme. Banyak yang kuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, tanpa peduli bagaimana ilmu mereka bisa berkontribusi untuk masyarakat. Ketiga, penguasaan harta lebih dihargai daripada penguasaan ilmu pengetahuan. Lulusan dinilai sukses jika mereka kaya, bukan jika mereka mampu berkontribusi pada bangsa dan negara.

Padahal, negara kita saat ini menghadapi tantangan yang luar biasa kompleks. Kemiskinan masih menggerogoti jutaan jiwa, ketimpangan sosial semakin tajam, dan krisis lingkungan mengancam keberlangsungan hidup kita. Di tengah semua itu, kaum muda terpelajar seharusnya menjadi ujung tombak perubahan. Dengan ilmu yang mereka miliki, mereka bisa merancang solusi inovatif, mulai dari teknologi ramah lingkungan hingga sistem ekonomi yang lebih adil. Mereka bisa menggerakkan masyarakat melalui ide-ide segar dan aksi nyata. Namun, semua potensi itu sia-sia jika ilmu hanya berhenti di kepala, tidak pernah sampai ke tangan. Masyarakat tidak membutuhkan orang cerdas yang hanya pandai berteori di menara gading, tetapi individu yang berani turun ke lapangan, bekerja keras, dan melebur dengan kebutuhan riil rakyat.

Sayangnya, realitasnya jauh dari harapan. Banyak kaum muda terpelajar yang justru terjebak dalam sikap elitis. Mereka merasa pendidikan mereka adalah tiket untuk hidup nyaman, bukan alat untuk memperjuangkan keadilan. Sikap ini tidak hanya mengecewakan, tetapi juga berbahaya. Jika pendidikan hanya melahirkan individu-individu yang egois dan terpisah dari realitas sosial, lalu apa gunanya semua sumber daya yang telah masyarakat curahkan untuk mencerdaskan mereka? Bukankah pendidikan adalah investasi kolektif dari pajak rakyat, dukungan keluarga, hingga infrastruktur publik yang seharusnya menghasilkan kebaikan bersama, bukan hanya keuntungan pribadi?

Inilah saatnya kita merenungkan kembali makna pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal mencetak tenaga kerja atau menumpuk gelar. Ia adalah proses untuk membentuk manusia yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Kaum muda terpelajar harus menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki adalah amanah, bukan sekadar privilege untuk dipamerkan. Mereka harus memiliki kepekaan sosial untuk melihat apa yang dibutuhkan masyarakat dan keberanian untuk bertindak demi memenuhi kebutuhan itu. Tanpa kesadaran ini, pendidikan kehilangan ruhnya.

Baca Juga:Universitas Islam Riau Sabet Piala Menpora

Sebagai penutup, saya ingin mengutip pemikiran Tan Malaka yang relevan dengan kondisi ini: “bila kaum muda terpelajar menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat dan melakukan kerja-kerja konkret yang bisa memenuhi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka lebih baik pendidikan itu tidak ada sama sekali. Manusia-manusia terdidik harus setidak-tidaknya, sekurang-kurangnya, punya cukup martabat dan kesadaran sosial untuk memberikan kontribusi balik kepada masyarakat setelah sedemikian banyak yang masyarakat berikan ke kita semua.”

Pendidikan bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang untuk membayar utang kita kepada dunia. Mari pastikan bahwa ilmu yang kita miliki tidak berhenti sebagai trofi pribadi, tetapi menjadi alat untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Bagikan Artikel Ini
Twitter Email Salin Tautan Cetak
Artikel Sebelumnya AA1B3lek Pemain Drakor “Crushology 101” Yang Wajib Diketahui
Artikel Berikutnya Cara Pakar Animasi Membuat Karya yang Diramaikan untuk Semua Generasi

Sumber Terpercaya untuk Informasi Akurat dan Terbaru!

Kami berkomitmen untuk menyajikan berita yang akurat, objektif, dan terkini. Itulah sebabnya banyak orang mempercayai kami untuk mendapatkan informasi terbaru. Ikuti kami untuk pembaruan real-time tentang berita dan tren terbaru!
FacebookSuka
TwitterIkuti
InstagramIkuti
TikTokIkuti
WhatsAppIkuti
Google NewsIkuti

Posting Populer

Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Marthens Bebas Setelah Disandera KKB Papua

Pilot Susi Air Terbebaskan Setelah 1,5 Tahun Disandera KKB Papua Nduga, Papua – Kapten Philip…

Oleh Adi Ariyanto

Hendra Setiawan Ramai China Open 2024 Bersama Dejan Gloria

Dejan/Gloria Dorong Menuju Perempat Final China Open 2024 Pasangan ganda campuran Indonesia, Dejan Ferdinansyah/Gloria Emanuelle…

Oleh Adi Ariyanto

OKI Rumuskan Proyek Pengentasan Persoalan Warga Rohingya

Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri KTT OKI bertema Sains dan Teknologi di Kazakhstan, Ahad (10/9).…

Oleh Angga Maulana

Anda Mungkin Juga Menyukainya

Kemenag Targetkan 50 Persen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Terakreditasi Unggul
Eduaction

Kemenag Targetkan 50 Persen PTKIN Raih Akreditasi Unggul

Oleh Dina Fadilah
Islam/ilustrasi
Kabar

Islam Agama Kemanusiaan | Republika Online

Oleh Angga Maulana
Salah satu sudut Kota Yogyakarta (ilustrasi).
Kabar

Air Tanah di Kota Yogyakarta Turun satu Sampai Dua Meter per Tahun

Oleh Angga Maulana
Beasiswa S1-S3 Rusia 2025, Kuliah Gratis Tanpa Syarat TOEFL atau IELTS
Eduaction

Manfaatkan Beasiswa S1-S3 Rusia Gratis 2025, Tanpa Syarat Bahasa

Oleh Dina Fadilah
Voxnes Logo Voxnes Logo
FacebookSuka
TwitterIkuti
InstagramIkuti
TikTokIkuti
WhatsAppIkuti
Google NewsIkuti

Kanal

  • Voxnes Nusantara
  • Voxnes Global
  • Opini & Analisis
  • Sosok & Inspirasi
  • Ekonomi & Bisnis
  • Teknologi & Inovasi
  • Gaya Hidup & Kesehatan
  • Hiburan & Budaya Pop
  • Lingkungan & Alam
  • Edukasi & Pengembangan Diri
  • Komunitas & Sosial
  • Olahraga

Berlangganan Newsletter

Daftarkan diri Anda untuk menerima artikel terbaru kami langsung di inbox Anda!

  • Disclaimer
  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Tentang Kami
  • Kontak

Copyright 2024 Voxnes Media. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Sign in to your account

Nama Pengguna atau Alamat Email
Kata Sandi

Lupa kata sandi?