Kira-kira tiga puluh menit sebelum waktu Maghrib, saya mengusulkan kepada Rizki untuk beribadah salat di mesjid tersebut. Karena kami tak dapat memasuki gerbang nomor 90, petugas pun mengarahkan kami menuju pintu masuk bernomor 91 agar bisa menggunakan eskalator yang akan membawa kita ke atap mesjid.
Inilah kunjungan kedua saya di tempat ini. Perbedaannya adalah saat itu baru Ashar sedangkan sekarang sudah dekat dengan Maghrib.
Mendekati waktu maghrib di atap Masjidil Haram, atmosfer begitu tenang dengan ribuan jemaah yang bersantai sambil menunggu adzan untuk melaksanakan salat. Sementara langit perlahan gelap, sinar dari lampu raksasa menyinari daerah tersebut, menghasilkan pemandangan yang damai dan memukau.
Beberapa jemaah memakai pakaian ihram sebagai tanda bahwa mereka sedang melaksanakan ibadah umrah, sementara sebagian lainnya menggunakan busana adat khas negeri masing-masing, menyimbolkan keragamannya para Muslim yang bertemu di lokasi sakral tersebut. Bunyi dzikrur rohman dan bacaan Al-Quran bergumam merdu di antara deru aktivitas orang banyak, memberikan nuansa ketuhanan yang kuat.
Di balik layar, menara Menara Masjidil Haram menjulang gagah, dilingkar oleh bangunan-bangunan yang menjadi bukti ekspansi masif guna memenuhi permintaan meningkatnya jumlah jemaah di waktu mendatang. Walaupun terjadi aktivitas konstruksi, ini tak menyebabkan gangguan bagi jemaah yang tengah konsentrasi pada ibadah masing-masing. Sebagian orang membawa mushaf untuk merujuk kepada Al-Quran, sedangkan sejumlah lainnya hanya duduk dengan tenang, menikmati suasana jelang sunset di salah satu lokasi paling sakral di planet kita.
Saat adzan Maghrib terdengar, atmosfer tiba-tiba berubah menjadi sunyi dan tenang. Ada beberapa jemaah yang tetap bergerak mencari lokasi untuk melaksanakan salat.
Setelah berbuka puasa setelah magrib, kita sempat meminum air zamzam sebelum keluar dan beralih ke area untuk salat di dalam masjid.
Kita duduk untuk memperhatikan kemegahan desain dalam masjid ini yang dilengkapi dengan tiang-tiang marmer putih berukuran besar, hiasannya bertema Islam yang rumit. Lampion-lampu gantung mewah tersuspensi dari atap yang menjulang, menciptakan cahaya lembut yang membuat suasana menjadi lebih suci.
Kelompok umat tampak bersila di atas permadani hijau yang luas; ada yang tengah mempelajari Al-Qur’an, zikir, atau istirahat saja. Beberapa lainnya berbicara dalam hening suci, dan dari kejauhan bisa dilihat seorang lelaki menaikkan tangannya dengan antusias, sepertinya sedang bertawassul atau cuma merilekskan otot-otot. Terdapat juga beberapa jemaah lanjut usia yang duduk menggunakan bangku lipat.
Secara umum, atmosfer di dalam Masjidil Haram menghadirkan perasaan kedamaian dan persaudaraan, tempat para Muslim dari seluruh dunia bertemu untuk melaksanakan ibadah bersama-sama.
Setelah itu, saya memandangi permadani tebal bergambar bunga-bungaan yang kompleks, di latar belakang warna hijau dengan sentuhan warna emas, biru, serta putih. Motifnya mengambil inspirasi dari gaya klasik dan memiliki pola simetri serta hiasan-dekorasi unik seperti halnya pada karpet-tradisional. Permukaannya nampak lembut, sementara paduan warnanya begitu seimbang sehingga membentuk suasana mewah dan ramah. Ulangi corak tanaman dan daun tersebut membuat tampilan semakin natural dan seni, menjadikannya opsi ideal untuk mendekorasi area interior bertema kuno maupun Asia Barat Daya.
Saya memerhatikan bagian sebelah kanan, yaitu daerah pemisah antara area shalat dengan jalanan umum. Terdapat beberapa rak emas yang mengisi ruangan tersebut, di mana dalamnya tersimpan bermacam-macam mushaf Al-Quran untuk para jamaah dapat mengepel ilmunya. Tak jauh dari situ, banyak pasangan sendal serta perkakasan personal lain ditumpuk di atas lantai batu. Tongkat kayu tertentu juga dipajangkan merapat pada tiang marmer putih, mungkin dimiliki oleh salah satu pengunjung masjid.
Setelah shalat Isya, kita segera keluar dari masjid menuju hotel untuk mengisi perut dengan makan malam. Sebelum itu, kita juga singgah sebentar ke area pusat perbelanjaan di sekitar masjid tersebut. Kawasan ini dikenal sebagai kompleks Abrah Al Bait yang mencakup berbagai fasilitas seperti tempat belanja, penginapan, hingga sebuah museum bernama Clock Tower Museum terletak di atasnya.
Kita mengamati escalator yang sempat menjadi sensasi di media sosial dan selalu ramai dikunjungi orang. Di area tersebut ada berbagai restoran cepat saji, serta mesin ATM milik bank ternama di Arab Saudi.
Berjalan-jalan pada waktu petang sampai malam hari mencakup salat maghrib dan melanjuti ke salat ‘isya di masjid memberi kesan rohani yang mendalam bagi kita semua. Ini terlebih dahulu disebabkan oleh peluang untuk menunaikannya di lokasi lain sambil juga mempelajari bagian-bagian dari Masjid Al-Haram, yaitu titik fokus iman Muslim secara global.
Malam itu, Ustaz Yudie menyampaikan kepada para Dhuyufullah yang berminat untuk pergi ke mesjid dan mendekat ke Ka’bah agar berkumpul di area lobby sekitar pukul dua pagi sehingga kami dapat melaksanakan shalat Subuh bersama-sama di tempat tersebut.
Saya beserta Pak Suxmayadi memilih untuk mengikuti saran yang diberikan oleh pak Ustaz serta sejumlah jamaah lainnya, yakni sebuah keluarga: Pak Darmawan, Ibu Rizka, dan ke-tiga putra-putrinya. Kami bertemu di lobby hotel tersebut sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju mesjid.
ternyata meski sudah hampir shubuh di waktu subuh yang menegakan, area di seputaran Ka’bah masih ramai dipadati oleh jamaah datang dari berbagai pelosok bumi.
Mendekati Ka’bah merupakan momen yang begitu menusuk hati, sebuah petualangan rohani dipenuhi keinginan serta ketaatan mendalam. Semakin merapat, detak jantung bertambah cepat, pandangan pun menjadi kabur sementara badan serasa enteng seperti diarahkan hanya oleh permintaan-permintaan lirih saat sujud. Menembus berbagai hambatan yakni barisan orang-orang berjilbab setinggi badan, secara sungguh-sungguh pada akhirnya aku berhasil mencapai dinding Ka’bah tersebut. Tempat Multazam, area percaya memiliki daya tarik tersendiri bagi doa, disitulah aku lepaskan semua cita-cita, minta maaf, dan totalitas menyerahkan hidupku kepada Yang Kuasa. Kesunyian batin bergema bersama gema doa dari sesepuh lainnya yang tengah asyik dalam harapan individunya sendiri.
Meneruskan petualangan, aku sampai ke Rukun Yamani, suatu titik khusus yang direkomendasikan untuk disentuh namun tidak dikucil. Ketika menyentuhnya, rasanya seperti berhubungan erat dengan sejarah Islam, membayangkan Nabi Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya melaksanakan tawaf di lokasi tersebut. Tiap langkahku memancarkan makna, menegaskan bahwa ibadah ini tak hanya semata-mata seremonial, tapi juga sebuah proses penyucian jiwa. Jiwa pun menjadi tenang, bagai melepaskan segala bebannya saat tertuju pada iman yang kuat.
Namun, saat mencoba mendekati Hajar Aswad, tantangannya menjadi lebih keras. Ribuan jemaah menggeser-geser, semua berupaya untuk mencium batu suci tersebut. Saya berusaha maju, namun tekanan semakin besar, dan saya sadar bahwa memaksakan diri dapat membawa cedera kepada orang lain. Agar tidak menyakiti siapa pun, saya memilih untuk singgah di Hijr Ismail, tempat yang masih memungkinkan merasakan keagungan Hajar Aswad meski dari jarak tertentu. Di posisi itu, saya menikmati atmosfer yang dipenuhi rasa khusyu’, menyatu dengan tulusnya setiap doa yang dilantunkan di area seputaran Ka’bah.
Sebelum pergi, pandanganku tertuju pada satu sumber air emas yang terletak di atas Hijr Ismail, tempat keberkahan Allah dituangkan.
Pancuran emas yang terdapat di bagian atas Ka’bah dikenal dengan nama “Mizab Rahmah” atau “Mizab Ka’bah.” Terletak di sebelah utara Ka’bah, pancuran tersebut bertugas sebagai saluran pengeluaran air dari atap Ka’bah. Nama “Mizab Rahmah” bermakna “Pancuran Rahmat,” dikarenakan dipercaya menjadi lokasi yang sangat mendukung untuk mengemisikan doa.
Kecantikan tempat itu menyinari pesona mendalam, mengajak kita sadar bahwa tiap anugerah dari-Nya terus mengalir kepada mereka yang tunduk padaNya. Sambil melangkahkan kaki secara pelan, aku meninggalkan lokasi tersebut sambil jiwaku diisi oleh ketenangan, merasa bersyukur atas kemungkinan unik untuk bisa berada begitu dekat dengan bait ilahi. Adegan ini bakal senantiasa tertanam dalam batin sebagai penanda bahwasanya ibadah haji tak sekadar petualangan badani saja, namun juga sebuah pelayaran rohani mencapai kasih sayang serta ampunan-Nya.
Waktu terus bergulir tanpa disadari, lantas azan subuh berkumandang. Para jamaah cepat menata barisan mereka menjadi bentukan lingkaran di sekitar Ka’bah. Mereka bersiap untuk salat sambil menyongsong kedatangan fajar. Di kejauhan, saya melihat sebuah jam besar yang megah mencerminkan sinar hijau dengan tulisan Allah.
Setelah salat subuh selesai, saatnya pulang ke hotel untuk beristirahat sebentar dan sarapan. Saya perlu mencari jalur dan gerbang keluar yang benar.
Tertelan oleh aliran itu, pada akhirnya aku muncul di area seputaran gerbang nomor 19. Akhirnya perlu berjalan mengikuti arah jarum jam untuk mencapai halaman di hadapan hotel tersebut. Namun demikian, ini pun membawaku ke dalam serangkaian petualangan baru karena kesempatan melirik beberapa gerbang Masjidil Haram lainnya.
Satu di antaranya adalah gerbang ke-15. Gerbang-gateway di Masjidil Haram dilengkapi dengan angka agar jamaah dapat lebih mudah mencari jalur masuk dan keluar, khususnya ketika masjid dipadati oleh banyak orang.
Pintu nomor 15 terletak di salah satu dari gerbang utama yang didekorasi dengan gaya arsitektural khas Masjidil Haram, menggunakan bahan marmer serta hiasan emas. Di sekitar pintu tersebut, dapat dilihat angka 15, yang memberi akses ke area Sa’i antara Shafa dan Marwah.
Beberapa saat setelah itu, saya lewat di depan Gerbang Al Nabi bernomor 14. Struktur ini mencolok mata karena hiasannya yang penuh motif klasik Islam. Di bagian atasnya ada tudung kecil berwarna hijau yang sangat kontras dengan tembok putih bertekstur geometris dan lengkungan gaya Timur Tengah. Tulisan “Al Nabi Gate” tertulis dalam dua bahasa: Inggris dan Arab tepat di atas pintunya. Sekitar gerbang tersebut adalah jendela-jendelanya yang dilengkapi grid besi hitam bermotif simetri disertai sentuhan emas membuat tampilannya semakin mewah. Koloni tiang-tiang penyangga di area ini dibuat dari marmer campuran abu-abu dan putih sehingga menyempurnakan pesona gerbang ini. Sedangkan untuk pintu utamanya didesain dengan corak metal bergaya Islami, menghadirkan estetika dan nuansa suci kepada siapa saja yang melalui sana.
Saya melanjutkan perjalanan saya dan lewat pintu nomor 5 yang memiliki desain luar biasa, dibuat dari marmer putih berseni ukirannya yang memukau. Saat masuk ke sana, tampak ruangan besar dengan penerangan yang cerah serta deretan jemaah yang tengah bergerak maju.
Saat berjalan bersama ribuan jemaah lain memutar di sekitar masjid, rasa letih dan ngantuk hilang begitu saja meski tak sempat tertidur semalam. Dengan padanya massa yang ada di area depan, rasanya waktu untuk sampai kembali ke hotel menjadi lebih lambat.
Kira-kira pukul 6:00 pagi, baru saya sampai di hotel dan sempat istirahat sebentar sebelum sarapan. Pada pukul tujuh pagi, kita berkumpul lagi untuk melakukan ziarah ke beberapa lokasi di seputaran kota Mekah.