VOXNES.com, JAKARTA — Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS perlu dijadikan momentum meningkatkan neraca perdagangan dan ekspor. Salah satunya di bidang pertanian (tanaman pangan, hortiklutur, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan).
Guru Besar Fakultas Perikanan IPB, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk menjadikan bidang pertanian sektor andalan mendongkrak perekonomian nasional melalui peningkatan ekspor di atas, diperlukan seperangkat kebijakan pemerintah terutama faktor struktural dan kebijakan ekonomi-politik.
Menurut Rokhmin, semestinya Indonesia bisa belajar dari Denmark yang sukses membangun pertaniannya meski tidak memiliki lahan pertanian sebanyak Indonesia.
“Nah, Denmark dan negara-negara lain yang sukses membangun bidang pertaniannya adalah yang membuat semua variable kebijakan pemerintah mendukung kinerja bidang pertanian,” kata Rokhmin Dahuri dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (13/9).
Ketua Umum Gerakan Nelayan Tani Indonesia (DPP Ganti) itu menambahkan, di Denmark, tak ada tempat untuk konglomerat di sektor pertanian, peternakan, perikanan dan usaha usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
“Sebanyak 90 persen pangsa pasar produk pertanian, peternakan dan perikanan serta kaitannya dikuasai oleh koperasi. Sebagian sisanya dikuasai oleh usaha kecil menengah (UKM),” ujar Rokhmin.
Pakar ekonomi kelautan tersebut mengungkapkan, pada 1996-1997 ia ditunjuk oleh Rektor IPB kala itu (alm Prof Dr Soleh Solahuddin, Red) sebagai ketua Tim IPB untuk menyusun Grand Strategy (Road Map) Pembangunan Pertanian Berbudaya Industri.
Salah satu hasil riset tersebut, kata Rikhmin, 70 variables (faktor) yang menentukan keberhasilan sektor (bisnis) di bidang pertanian (tanaman pangan, hortiklutur, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan) adalah faktor struktural dan kebijakan politik-ekonomi. Seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), suku bunga dan persyaratan kredit perbankan, APBN/APBD, nilai tukar rupiah, kebijakan ekspor-impor, infrastruktur, konsistensi kebijakan pemerintah, kelambagaan pertanian, dan iklim investasi serta kemudahan berbisnis (ease of doing business).
“Dan, 70 persen variables penentu tersebut sayangnya di luar otoritas Kementerian Pertanian, Kelautan dan Perikanan, dan Kehutanan. Apalagi otoritas perguruan tinggi (khususnya IPB) dan litbang terkait pertanian dalam arti luas,” katanya.