Indonesia, negeri dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, masih dihadapkan pada masalah gizi kronis yang meresahkan. Malnutrisi, stunting, kekurangan vitamin A, dan anemia mendera berbagai kelompok usia, terutama ibu hamil dan remaja. Prof. Agussalim Bukhari, Guru Besar Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sekaligus Ketua Kolegium Ilmu Gizi Klinik Indonesia, mengungkapkan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, masalah gizi ini belum kunjung teratasi.
Berdasarkan pengalaman dan penelitiannya, Prof. Agussalim menegaskan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab utama permasalahan gizi di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki anugerah alam yang melimpah, pemanfaatannya hingga saat ini masih belum optimal, mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang mendalam.
Ekonomi vs Kebutuhan Makan Sehat
Prof. Agussalim mencontohkan nelayan yang seharusnya mendapatkan akses mudah dan bergizi tinggi melalui ikan. Namun, kenyataannya mereka menjual hasil tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti sembako dan biaya pendidikan anak.
“Kemudian, mereka menyisakan ikan yang mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka sendiri. Faktor ekonomi merupakan faktor yang sangat penting dalam permasalahan gizi,” ungkap Prof. Agussalim.
Saya setuju, ane mau cek informasi lebih lanjut tentang stunting di Indonesia.
Solusi yang Berkelanjutan dan Memberdayakan Masyarakat
Prof. Agussalim menekankan pentingnya solusi yang _sustainable dan pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi masalah gizi. Penyuluhan gizi yang tepat harus disertai dengan program yang membebaskan masyarakat dari ketergantungan ekonomi dan mendorong akses terhadap makanan bergizi.
“Saya kira sudah berlangsung, saya juga pernah tugas di puskesmas, namun tetap faktor ekonomi yang selalu menjadi masalah. Kadang kita memberikan penyuluhan kepada masyarakat, tapi masyarakat pikirannya bagaimana besok anak-anak saya bisa makan, atau kebutuhan sekolahnya dan lain sebagainya seperti itu,” ungkapnya.
Sehingga, solusi yang berkelanjutan meliputi:
- Pemanfaatan Kearifan Lokal: Mengoptimalkan pengolahan dan konsumsi bahan makanan lokal yang kaya gizi.
- Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat: Membuka peluang ekonomi yang mendukung akses terhadap makanan bergizi, misalnya dengan pengembangan usaha budidaya ikan atau pertanian organik.
- Pendidikan Gizi yang Inklusif: Menyampaikan pesan gizi secara mudah dipahami dan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi individu.
Prof. Agussalim berharap dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, masalah gizi di Indonesia dapat secara efektif diatasi dan generasi penerus dapat tumbuh sehat dan optimal.