Nadhifa Ramadhani, atau Difa sapaan akrabnya, adalah seorang perempuan yang tidak hanya berbakat dalam bermain basket, namun juga memiliki semangat pantang menyerah dalam mengejar mimpinya. Kisahnya merupakan sebuah inspirasi bagi banyak orang, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan penghalang untuk mencapai kesuksesan.
Menghadapi Kanker dan Proses Amputasi
Di sekitar tahun 2012, ketika masih duduk di bangku SMP, nadhifa didiagnosis menderita kanker tulang atau osteosarkoma. Gejala awalnya membuatnya khawatir, namun ia berusaha kuat dan menjalani pengobatan. Sayangnya, kanker menyebar dengan cepat dan dokter menyarankan amputasi kaki sebagai langkah terakhir untuk menyelamatkan nyawanya.
Proses amputasi menjadi momen berat bagi Nadhifa. Namun, dukungan dari keluarga menjadi perisai dalam menghadapi sidang berat ini. Ia menyadari bahwa ini adalah perjuangan untuk hidup dan ia harus tetap bersemangat.
“Kalau boleh jujur perasaan pertama yang aku rasakan justru adalah sedih,” ungkap Nadhifa, seperti dikutip dari VOXNES. “Coping mechanism-ku pertama adalah keluarga, keluarga benar-benar support system-ku banget karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar bisa bikin aku tetap ketawa gitu di saat-saat yang sulit karena aku harus menjalani kemoterapi yang kayak dulu seperti nggak ada ujungnya gitu. Tapi mereka bisa tetap bikin aku semangat karena mereka selalu ada di situ,”
Semangat Basket dan Pertemuan dengan Kehidupan Baru
Diamputasi kaki tidak menyurutkan semangat Nadhifa dalam bermain basket. Ia terpaksa vakum dari olahraga favoritnya selama masa pengobatan dan pemulihan. Namun, salah satu momen yang menginspirasi dirinya adalah melihat turnamen basket kursi roda di Asian Para Games 2018.
Sejak saat itu, Nadhifa bergabung dengan komunitas Jakarta Swift Wheelchair Ball pada tahun 2019. Di sana, ia menemukan kembali cintanya pada basket, kali ini dalam versi baru yang menantang. Ia bahkan menapaki lapangan hingga ke Bali dan Malaysia.
Di komunitas tersebut, Nadhifa bertemu dengan Ali Amran Al Afif, suaminya yang juga seorang atlet basket kursi roda. Awalnya, mereka berteman, lalu menjadi sahabat, dan akhirnya memutuskan untuk menjalin rumah tangga.
“Jadi kami berdua sama-sama atlet basket, awalnya sebagai teman saja, lama-lama setelah ngobrol dan menjadi sahabat, lama-lama kami merasa cocok lalu kami memutuskan untuk menikah,” kenangnya dengan malu-malu.
Ali Amran bukan hanya teman hidupnya, tetapi juga menjadi inspirasi dan pendukung terbesar dalam mengejar mimpi Nadhifa untuk melanjutkan pendidikan.
LPDP: Membuka Pintu Keberhasilan
Pada tahun 2023, Ali Amran berhasil lolos beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan melanjutkan studi master di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Bidangnya adalah Social-Organizational Psychology. Keberhasilan ini menjadi motivasi bagi Nadhifa untuk juga mencoba kesempatan tersebut.
Ia melihat bahwa pendidikan merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan nilai diri dan membuktikan bahwa dirinya dapat sukses di dunia, meskipun memiliki disabilitas.
“Sejujurnya saya juga mengikuti, karena saya juga terinspirasi oleh suami, jadi karena suami sudah mulai duluan satu tahun terlebih dahulu, jadi begitu suami dapat LPDP, saya ter-encourage untuk juga mendaftar LPDP karena menurut kami berdua pendidikan itu juga salah satu yang bisa menaikkan value kami sebagai seorang disabilitas. Karena mungkin karena disabilitas juga, kami perlu membuktikan lebih seperti itu kepada masyarakat bahwa dengan kedisabilitasan kami tidak sama sekali memberhentikan kami untuk menjadi orang yang lebih baik,” ujar Nadhifa.
Pada September 2024, Nadhifa akan memulai perjalanan barunya menjadi mahasiswa master di Columbia University. Bidangnya adalah Nutrition and Exercise Physiology. Nadhifa’s story is a testament to the fact that disabilities do not define a person’s potential. With unwavering determination, support from loved ones, and a belief in herself, Nadhifa is breaking barriers and rewriting the narrative of what’s possible.