Ketua KPU Akan Cek Tersangka Kekerasan Seksual Anak yang Jadi Anggota DPRD Singkawang
Jakarta – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin menyatakan akan mengecek kasus tersangka kekerasan seksual anak berinisial HA yang telah dilantik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Singkawang, Kalimantan Barat.
Informasi mengenai kasus ini baru didapat oleh KPU pada Selasa, 17 September 2024. Lantaran jangkauan kerja KPU yang luas, Afif menekankan pentingnya pengecekan spesifik untuk daerah-daerah yang terkait dengan kasus ini.
"Kami akan cek, kami baru dapat informasi yang terkait dengan yang Kabupaten Singkawang," kata Afif dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat 20 September 2024.
"Jangkauannya sangat banyak, titik-titik yang berkaitan dengan daerah-daerah, kami harus melakukan pengecekan-pengecekan secara spesifik," sambungnya.
Dorongan Penangguhan Jabatan dan Investigasi
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh mendesak penangguhan jabatan HA sebagai anggota DPRD Singkawang sampai proses hukumnya selesai. Pelanggaran serius yang terjadi tidak hanya menyangkut lembaga legislatif, tetapi juga kredibilitas seluruh anggota dewan.
"DPRD Singkawang juga bisa memproses HA dari sisi kode etik mengingat yang bersangkutan sudah dilantik menjadi anggota dewan," tegas Pangeran dalam pernyataan tertulisnya.
Pangeran menekankan pentingnya investigasi menyeluruh terkait kasus ini. Tindakan tegas harus diambil jika ditemukan manipulasi informasi atau penyalahgunaan wewenang.
"Selain karena kasus asusila yang dialaminya, dapat juga dilakukan investigasi terkait kehadiran tersangka dalam pelantikan karena yang bersangkutan mengaku sakit dan memiliki surat keterangan medis saat mangkir dari panggilan polisi, tetapi bisa hadir saat pelantikan sebagai anggota DPRD," ungkapnya.
"Lembaga legislatif tidak memiliki kekebalan hukum bagi siapapun yang terlibat dalam kejahatan serius, terlebih menyangkut kejahatan terhadap anak," tegas Pangeran.
Ancaman Hukuman dan Tragedi Anak
HA dikenakan Pasal 81 juncto Pasal 82 Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun ganjaran tambahan sepertiga tahun karena pelaku tokoh masyarakat. Pelaku juga didakwa berdasarkan UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Kasus ini kembali menggarisbawahi betapa pentingnya perlindungan bagi anak-anak dari kekerasan seksual. Kemunculan kasus serupa menyuarakan perlunya edukasi dan sistem hukum yang lebih efektif dalam mencegah dan menghukum pelaku kejahatan terhadap anak.
VOXNES.com