Di balik setiap artikel akademik yang kita baca, tanpa kita sadari, terdapat sebuah mesin besar yang menghasilkan keuntungan dari tenaga gratis para peneliti. Para penerbit besar—seperti Elsevier, Wiley, Taylor & Francis, Springer Nature, dan SAGE—telah membangun model bisnis yang tak hanya memanfaatkan tenaga akademisi secara gratis, tetapi juga menyedot dana publik melalui lembaga akademik dan universitas. Dengan pendapatan tahunan yang mencapai miliaran dolar dan margin keuntungan mendekati 40%, mereka bahkan melebihi perusahaan teknologi raksasa seperti Google dalam hal profitabilitas.
Ironisnya, dosen dan peneliti yang menghasilkan karya-karya ilmiah ini tidak mendapatkan bayaran. Mereka melakukan riset, menulis artikel, serta melakukan proses review dan editing untuk jurnal, semuanya tanpa imbalan dari penerbit. Yang lebih mengherankan, setelah hasil riset ini diterbitkan, universitas dan institusi yang mendanai riset dan membayar gaji para akademisi harus kembali membayar untuk mengakses jurnal-jurnal tersebut. Dengan biaya berlangganan jurnal yang semakin tinggi, banyak universitas yang berjuang untuk mendapatkan akses, membuat penelitian terbaru hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar, dan terkunci di balik paywall yang mahal.
Fenomena ini membawa dampak buruk bagi budaya intelektual dan ilmiah. Di tengah penyebaran disinformasi di internet, akses terhadap riset yang valid dan berkualitas malah dibatasi. Bahkan, untuk mengunduh satu artikel dari jurnal-jurnal ternama di bidang filsafat atau politik bisa menghabiskan hingga £40. Ini tentu menjadi penghalang besar bagi penelitian, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki akses ke universitas yang berlangganan jurnal-jurnal ini.
Namun, dampaknya tidak hanya terbatas pada aksesibilitas. Monopoli penerbit komersial juga merusak kualitas penelitian itu sendiri. Saat penerbit berfokus pada keuntungan, tekanan untuk meningkatkan jumlah publikasi meningkat. Akibatnya, banyak jurnal berkualitas rendah yang muncul, yang hanya bertujuan untuk mengisi ruang dan menghasilkan keuntungan. Kondisi ini mendorong penurunan standar kualitas akademik dan memicu penerbitan riset palsu atau tidak valid. Lebih parahnya lagi, jurnal yang terlibat dalam praktek ini sering kali menjadi pilihan akademisi yang terpaksa mengikuti tekanan untuk mempublikasikan karya ilmiah demi tujuan karir, meskipun melalui jalan pintas yang merugikan dunia akademik secara keseluruhan.
Membongkar Sistem yang Eksploitatif
Fenomena ini telah terjadi selama beberapa dekade. Awalnya, banyak jurnal ilmiah diterbitkan oleh pers universitas yang lebih berorientasi pada pelayanan akademik. Namun, penerbit komersial mulai mengakuisisi jurnal-jurnal ini, mengubahnya menjadi mesin pencetak uang. Mereka menaikkan harga berlangganan secara signifikan dan memaksa universitas untuk membeli paket langganan yang mencakup jurnal-jurnal yang mungkin tidak mereka butuhkan.
Dalam rentang waktu 2010 hingga 2019, universitas di Inggris menghabiskan lebih dari £1 miliar untuk biaya langganan jurnal, dan lebih dari 90% dana ini masuk ke kantong lima penerbit besar. Padahal, universitas-universitas tersebut telah mendanai riset, membayar gaji dosen dan peneliti, dan kemudian harus membayar lagi untuk mengakses hasil penelitian tersebut. Sistem ini tidak hanya mengeksploitasi tenaga akademisi, tetapi juga membebani anggaran universitas yang semakin terbatas.
Penerbit besar juga telah memperkenalkan model “open access”, yang memungkinkan artikel ilmiah dapat diakses secara gratis oleh publik. Sekilas, ini tampak seperti solusi yang baik. Namun, di balik model ini, penerbit tetap mengenakan biaya yang sangat tinggi kepada penulis atau institusi mereka untuk mempublikasikan artikel tersebut secara open access, sering kali mencapai ribuan pound per artikel. Siapa yang akhirnya membayar biaya ini? Universitas lagi-lagi menjadi pihak yang harus menanggung beban biaya tambahan tersebut.
Dampak Negatif Terhadap Produksi Pengetahuan
Dorongan untuk mempublikasikan sebanyak mungkin artikel telah menurunkan standar kualitas penelitian. Semakin banyak artikel yang diterbitkan, semakin banyak keuntungan yang diperoleh penerbit, bahkan jika artikel-artikel tersebut tidak melalui proses peer review yang memadai. Hal ini menimbulkan masalah serius bagi integritas akademik dan kualitas ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Di sisi lain, akademisi, terutama mereka yang berada di awal karir, sering kali terjebak dalam sistem ini. Karir akademik mereka sangat bergantung pada publikasi di jurnal-jurnal yang memiliki nama besar dan reputasi baik, yang sebagian besar dimiliki oleh penerbit komersial. Risiko yang dihadapi oleh akademisi muda terlalu besar jika mereka memilih untuk mempublikasikan di jurnal baru yang belum dikenal, meskipun jurnal tersebut mungkin lebih etis dan berorientasi pada kualitas.
Sistem ini menciptakan dilema kolektif bagi akademisi: meskipun banyak yang menginginkan perubahan, setiap individu secara pribadi lebih terdorong untuk tetap mengikuti status quo demi kelangsungan karirnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif untuk memutus siklus ini dan membangun model penerbitan yang lebih etis dan berkelanjutan.
Menuju Alternatif yang Berkeadilan: “Diamond Open Access”
Sebenarnya, ada alternatif yang jelas dan mungkin untuk diterapkan: model “diamond open access”. Dalam model ini, penerbit tidak mengenakan biaya kepada penulis, editor, atau pembaca. Pendanaan untuk jurnal datang langsung dari universitas, perpustakaan, atau lembaga pendanaan penelitian, yang secara signifikan lebih murah dan efisien dibandingkan harus membayar penerbit komersial.
Model ini tidak hanya akan menghilangkan tekanan komersial dalam proses editorial, tetapi juga akan memastikan bahwa riset dapat diakses oleh semua orang tanpa biaya. Dalam dunia di mana akses terhadap informasi yang valid semakin penting, model ini dapat membantu melawan arus disinformasi yang semakin merajalela.
Namun, untuk mengadopsi model ini secara luas, dibutuhkan dukungan dan kerjasama dari semua pihak yang terlibat dalam ekosistem akademik. Perpustakaan, universitas, dan lembaga pendanaan harus mulai mendanai jurnal-jurnal independen, sementara akademisi harus berani mengambil risiko untuk mempublikasikan di jurnal-jurnal baru yang lebih etis. Hal ini tentu bukan perubahan yang mudah, tetapi semakin lama kita menunggu, semakin besar keuntungan yang diraup oleh penerbit komersial, dan semakin terbatas akses terhadap riset yang valid.
Perubahan ini bukan hanya masalah akademik; ini adalah masalah keadilan sosial dan akses terhadap pengetahuan. Dengan beralih ke model penerbitan yang lebih adil, kita bisa memastikan bahwa riset dan ilmu pengetahuan bisa diakses oleh semua orang, bukan hanya mereka yang mampu membayar. Ini adalah langkah penting menuju sistem akademik yang lebih adil dan berkelanjutan.