REVISI Undang-Undang mengenai Perubahan terhadap Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 seputar Tentara Nasional Indonesia atau disebut juga sebagai UU TNI saat ini sedang berlangsung di Komisi I DPR. Beberapa saran telah timbul selama proses diskusi.
RUU TNI
Di komisi yang mengurusi bidang pertahanan, hubungan internasional, dan teknologi informasi tersebut merupakan tentang regulasi tugas-tugas terbaru.
TNI
di kementerian atau lembaga.
Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menjelaskan bahwa selama diskusi, Panitia Kerja (Panja) RUU TNI telah setuju untuk menambah jumlah departemen atau institusi di mana perwira aktif militer dapat berpartisipasi, meningkat dari 15 menjadi 16 departemen atau institusi.
Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut mengungkapkan bahwa lembaga baru ini adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). “Berdasarkan aturan presiden serta pernyataannya, memang terdapat penerapan personil TNI pada wilayah-wilayah yang rentan dan memiliki batas,” jelas Hasanuddin ketika ditemui selama rapat kerja RUU Tentang TNI di Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2025, sebagaimana dilaporkan.
Antara
.
Dia menyebutkan di bawah UU TNI, awalnya terdapat 10 departemen atau badan yang dapat ditempati oleh personil militer aktif. Selanjutnya, dalam rancangan perubahan UU TNI tersebut, diproyeksikan akan ada tambahan sekitar lima departemen atau badan berdasarkan aturan untuk mencapai total 15 entitas. Namun, menurut pengakuannya, selama proses pembahasan Panja RUU TNI, ditambah satu unit kerja lain yang sudah disahkan yaitu BNPP.
Maka bila terdapat anggota TNI aktif yang memegang posisi di luar kementerian ataupun lembaga tersebut, Hasanuddin menyatakan bahwa anggota TNI wajib mengundurkan diri dari dinasnya. “Oleh karena itu, yang telah pastikan mencapai 16 kementerian/lembaga, untuk yang lainnya perlu berhenti,” ungkapnya.
Pasal 47 ayat (2) dari Undang-Undang TNI yang sedang diberlakukan sekarang menetapkan bahwa hanya ada sepuluh lembaga yang bisa diduduki oleh anggota TNI. Sepuluh entitas itu meliputi departemen yang mengurus Koordinasi Politik dan Keamanan Negara, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer untuk Presiden, Badan Intelejen Negara, Kesekreterisan Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Majelis Pertahanan Nasional, Program SAR Nasional, Komisi Anti-Narkoba Nasional, serta Mahkamah Agung.
Pada pertemuan kerja bersama Komisi I DPR pada tanggal 10 Maret 2025, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan ide untuk menambah lima kementerian atau lembaga yang bisa diduduki oleh personel TNI. Menurutnya, para prajurit yang bertugas dalam posisi non-militer di 15 kementerian atau instansi lain tetap boleh mempertahankan status mereka sebagai anggota TNI tanpa harus mundur.
Prajurit TNI sekarang dapat menempati lima posisi sipil tambahan yaitu bidang Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengawas Narkotika (BNPT), Keamanan Laut, serta Kejaksaan Agung. Setelah ditambahkan satu entitas ini, jumlah total pengusulan untuk peningkatan dalam kementerian atau lembaga menjadikan enam pekerjaan sipil yang dapat ditempati oleh prajurit TNI.
janji militer terkait penempatan prajurit aktif pada posisi sipil
Pimpinan Badan Informasi TNI, Mayor Jenderal Hariyanto, menyebut bahwa aturan untuk menugaskan personel aktif militer dalam posisi sipil akan ditentukan secara ketat berdasarkan keperluan negara. “Tugas personel angkatan bersenjata di luar struktur militer akan disesuaikan dengan peraturan yang sangat tegas,” ungkap Hariyanto melalui pernyataan tertulisnya yang dirilis pada hari Senin, tanggal 17 Maret 2025.
Menurutnya, prosedur tersebut harus diterapkan untuk menjaga kesetaraan dalam kebijakan TNI. Dia menekankan bahwa pembatasan yang kuat pada penempatan personel aktif dalam posisi sipil diharapkan dapat mencegah overlaping wewenang.
Menurutnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang TNI menghormati supremasi sipil. Dia menyatakan, “Kami bertekad untuk memelihara keseimbangan antara fungsi militer dengan wewenang pemerintahan sipil.”
Hariyanto menekankan bahwa perubahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia ini penting dilakukan guna memperbaiki tanggung jawab utama tentara sehingga menjadi lebih efisien dan tak bertabrangan dengan lembaga lain. Ia juga meminta kepada publik supaya tidak gampang terprovokasi tentang diskusi RUU Tentara Nasional Indonesia yang menuai pro dan kontra. “Kestabilan negara harus kita pertahankan bersama,” katanya.
Rapat koordinasi PanjaRUU TNI bersama Komisi I DPR dan pemerintah telah menetapkan penambahan posisi sipil yang boleh diduduki oleh personel militer aktif. Kesepakatan tercapai antara legislatif dan eksekutif untuk mengusulkan agar enam departemen serta badan tertentu dapat dikelola oleh anggota TNI yang masih bertugas secara aktif.
Kelompok Masyarakat Menyuarakan Ketidaksetujuan Terhadap Peningkatan Pasukan Militer dalam Urusan Civile
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa rancangan pengubahan Undang-Undang Tentara Nasional memiliki beberapa ketentuan yang mencemaskan. Menurut mereka, penerapan lebih luas dari TNI dalam urusan non-militer merupakan indikator kebangkitan kembali fungsi ganda TNI.
Dimas Bagus Arya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan bahwa menugaskan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Badan Kepegawaian Negara atau Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) kurang sesuai dalam hal penguatan posisi sipil. “Menaruh mereka di lingkungan Badan Pemeriksa Hukum nasional bukan merupakan langkah yang tepat lantaran tugas pokok TNI adalah membela negara,” ungkapnya melalui rilis formal Koalisi pada hari Jumat, tanggal 14 Maret 2025. KontraS berperan aktif menjadi salah satu elemen dalam koalisi tersebut.
Dimas menjelaskan bahwa walaupun telah adanya Jabatan Jaksa Agung Muda Bidang Perkara Militer (Jampidmil) dalam struktur Kejaksaan Agung (Kejagung), perwira TNI yang masih aktif dan bertugas di Kejagung sebaiknya mundur lebih dulu dari jabatannya tersebut. Sejak proses pendirian Jampidmil dimulai, Koalisi pun sempat mencela eksistensi Jampidmil dengan alasan dinilai kurang dibutuhkan.
Mereka berpendapat bahwa Jampidmil hanya mengurus kasus-kasus yang berkaitan dengan koneksi, oleh karena itu seharusnya tak perlu dijadikan posisi tetap. Sedangkan dari Koalisi menyatakan bahwa demi urusan koneksi tersebut, sebetulnya dapat ditangani secara individual melalui pembentukan tim spesifik.
ad hoc
kombinasi tim Kejaksaan Agung dengan otoritas militer.
Koalisi berpendapat bahwa yang dibutuhkan bukanlah penambahan jumlah posisi sipil yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif, melainkan justru pengerucutan, pembatasan, serta pengurangan anggota TNI aktif dari posisi sipil seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Tentang TNI. “Maka bila ingin mengoreksi kembali UU tersebut, sebaiknya 10 posisi sipil pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI itu dikurangi, bukannya malah bertambah,” ujar Dimas.
Hammam Izzuddin
dan
Antara
bersumbang dalam penyusunan artikel ini.