Di Bawah Usia 18 Tahun, Bisakah Anak Dihukum Pidana?
Kasus kekerasan seksual dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur kerap menjadi sorotan publik. Lebih-lebih ketika identitas pelaku dan detail kasus tersebar luas di media sosial, menimbulkan berbagai pertanyaan dan kontroversi mengenai bagaimana sistem hukum seharusnya menangani kasus-kasus ini.
Salah satu pertanyaan paling sering muncul adalah, apakah anak di bawah usia 18 tahun bisa dihukum pidana di Indonesia?
Aturan yang mengatur tentang tindak pidana anak di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU ini berprinsip pada pemahaman bahwa anak memiliki hak-hak khusus yang berbeda dengan orang dewasa, dan hukuman harus disesuaikan dengan kondisi dan tingkat perkembangan anak.
Konsep Proporsionalitas dalam Hukuman Anak
Amira Paripurna SH LLM PhD, pakar hukum pidana anak dari Universitas Airlangga (Unair), menjelaskan bahwa UU SPPA menekankan konsep proporsionalitas dalam memberikan hukuman kepada anak pelaku.
"Prinsip proporsionalitas ini artinya efek jera dari sanksi pidana tetap penting, namun kita juga harus mempertimbangkan hak-hak anak dan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang," ujar Amira.
Jenis-Jenis Sanksi untuk Pelaku Anak
Berbeda dengan sistem peradilan pidana bagi orang dewasa, UU SPPA menawarkan beragam jenis sanksi, bukan hanya hukuman penjara.
Kategorikan hukuman bagi pelaku anak berdasarkan usia dan tingkat keparahan tindak pidana yang dilakukan. Salah satunya adalah pembinaan.
Pembinaan ini dirancang untuk memperbaiki perilaku anak, mengembangkan potensi positifnya, dan mencegah kemunculan kembali tindak pidana. Pembinaan dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti konseling, terapi, dan pemulihan sosio-emosional.
"Pembinaan ini dapat dilakukan di balai pemasyarakatan khusus anak," tambah Amira, "Proses ini harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setiap anak.”
Dalam kasus-kasus tertentu di mana ancaman penjara dalam undang-undang melebihi tujuh tahun, pelaku anak berpotensi dikenakan hukuman penjara. Hal ini diatur dalam Pasal 79 UU SPPA.
Diversi, Alternatif Penyelesaian
Lebih lanjut, UU SPPA memberikan ruang bagi upaya diversi. Diversi merupakan proses penyelesaian perkara anak di luar jalur peradilan pidana, dengan melibatkan pihak-pihak terkait, seperti keluarga, sekolah, dan komunitas.
"Diversi memungkinkan untuk memberikan respon yang lebih holistik terhadap pelaku anak, dan menekankan pada pencegahan dan pemulihan," tutur Amira.
Peran Lingkungan Sekitar dan Pencegahan Tindak Pidana Anak
Amira juga menekankan pentingnya peran lingkungan sekitar dalam mencegah tindak pidana anak.
"Dari perspektif kriminologi," kata Amira, "anak melakukan tindak pidana tidak hanya karena kehendak bebasnya, tapi juga karena pengaruh lingkungan sekitarnya.”
Kondisi keluarga, pendidikan, akses terhadap informasi, serta interaksi sosial anak dengan teman sebaya sangat berpengaruh pada perilaku anak.
”NC untuk memutus siklus tindak pidana anak, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak, bukan hanya dari ranah hukum," pungkasnya. "Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak dan mencegah terjadinya tindak pidana."
UU SPPA merupakan upaya Indonesia untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan humanis bagi anak pelaku tindak pidana.